Mohon tunggu...
Azkiya Banata
Azkiya Banata Mohon Tunggu... Laboran dan Guru -

An extrovert who spends Friday night on bed and books. And coffee. // aplanci.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sharkie Si Hiu Sahabat Manusia

12 Januari 2017   11:50 Diperbarui: 12 Januari 2017   11:58 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, jangan takut dulu, izinkan aku berbagi sedikit kisah hidupku.

Namaku Sharkie, aku adalah seekor hiu yang tinggal di lautan Indonesia, sangat dekat dengan kalian! Aku tinggal di lautan bersama dengan saudara-saudaraku, contohnya Paman Lewini, yang memiliki kepala dengan bentuk menyerupai martil. Juga Si Kembar Blacky dan Whitty, yang seringkali tertukar karena bentuk tubuh mereka yang sangat mirip, hanya warna pada sirip mereka saja yang berbeda yaitu hitam dan putih. Ukuran tubuhku cukup besar, dapat mencapai 1,8 meter lho! Tetapi jangan kaget, saudaraku ada yang berukuran kecil juga lho, Si Imut Pygmy yang hanya seukuran 22 sentimeter. Ada juga Kakek Rhincodon, tubuhnya yang sangat besar membuat dirinya mirip dengan tetangga kami, Keluarga Paus. Tenang, Kakek Rhincodon tidak galak kok, ia vegetarian.

Aku seringkali merasa sedih saat mendengar bahwa saudara-saudaraku kembali menyerang manusia yang sedang bermain di laut. Hal itu membuat kami dibenci dan ditakuti, padahal kami sama sekali tidak menyukai daging manusia, rasanya aneh dan hambar. Manusia bukan makanan kami. Makanan utama kami adalah ikan-ikan yang lebih kecil, penyu, dan cumi-cumi. Aku pernah bertanya kepada Mako, saudaraku yang pernah menyerang manusia. Mako bilang, dia tidak sengaja menyerang manusia, karena ia mengira manusia yang sedang bersantai di atas papan seluncurnya itu adalah penyu laut, karena bentuknya mirip jika dilihat dari bawah permukaan laut. Debur ombak dan air laut yang keruh akibat pencemaran juga seringkali mengganggu pengelihatan kami dalam mengenali mangsa.

Asal kalian tahu saja kawan-kawan, serangan hiu kepada manusia sangatlah jarang terjadi. Biasanya hanya terjadi sebanyak 3-4 kali dalam satu tahun. Namun yang terjadi pada kami para hiu adalah sebaliknya. Manusia memburu kami besar-besaran, lebih dari 100 juta ekor hiu diburu setiap tahunnya. Musuh kami bukanlah paus atau predator lain yang memangsa saudara-saudara kami setiap harinya, tetapi manusia. Manusia memburu untuk mengambil sirip kami, untuk dijadikan sup, yang harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu mangkuknya. Harga yang mahal itu tidak sebanding dengan kehilangan yang kami rasakan di lautan. Ibuku dan para Ibu Hiu lainnya jarang sekali melahirkan adik-adik kami, karena masa mengandung yang cukup lama yaitu hingga 24 bulan, membuat populasi kami semakin berkurang setiap harinya.

Kami bukanlah monster laut yang perlu ditakuti apalagi dibunuh. Keberadaan kami di lautan sangatlah berguna untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut, agar ketersediaan sumber daya laut selalu berlimpah. Itu berarti jika hiu punah, maka para ikan, cumi-cumi, dan biota laut lainnya akan berkurang, yang juga akan mempengaruhi kehidupan manusia yang selama ini banyak bergantung dari sumber daya laut. Hiy, seram bukan? Bayangkan tidak ada lagi ikan goreng yang asam manis yang dimasak oleh Ibu kalian. Tidak ada lagi kerang-kerangan yang biasanya kalian rebus saat perayaan malam tahun baru.

Lantas, bagaimana caranya kalian menyelamatkan kehidupan kami? Mudah sekali. Tidak perlulah mengikuti tren memakan sup sirip hiu, yang katanya menyehatkan itu. Ku beritahu rahasia ya, ada lebih banyak khasiat dan kandungan nutrisi yang baik pada tetanggaku, Si Gemuk Tuna. Hihi. Sesungguhnya kami adalah sahabat kalian, kami menjaga lautan agar kebutuhan manusia akan sumber daya laut tetap terpenuhi.


Haruskah kita yang takut dengan hiu atau hiu yang takut dengan kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun