Pintu kayu tua itu dibuka, keliatan kurang minyak dan berdebu. Ruangan di dalam rumah jati tua itu redup samar dan  aroma busuk dari masa lalu meruap kuat, mengganggu hidungku. Nafasku terganggu, mataku berkunang-kunang tiba-tiba. Sepertinya aku salah masuk pintu rumah waktu.
Kucoba menutup kembali, pintu kuno kayu msiterius bergagang besi gelang-gelang hitam bulat. Tapi begitu aku berhasil menutup gerbang waktu itu, di belakangku tak ada tanah berpijak lagi. Di belakangku lubang kosong amat dalam, tak ada lagi tanah berpijak awalku tadi. Tubuhku pun terpelanting, melayang jauh.
Aaaarrgh...
Aku berteriak-teriak sekeras mungkin, menghilangkan rasa takut  jatuh dari ketinggian tak berbatas.  Lubang itu tak berdasarkan, seperti jatuh dari ketinggian langit melewati lapisan awan demi awan tebal. Lama sekali aku melayang. Lalu aku hinggap mendarat di jendela kayu besar yang indah. Rumah siapakah ini, tidak berpijak di bumi dan tidak beratap langit.
Kudorong daun jendela besar putih besar hati-hati, akan masuk di ruang waktu manakah tubuhku?
Krieeet....
(Sementara di rumah sakit, seluruh alat bantu nafas, jantung, makanan di lambung, sudah berhenti berdenyut. Hanya jam di ruang HCU yang berdetak keras. Lebih keras dari denyut nadiku yang luluh tak terbaca mesin...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H