Tiba waktu
Puasa berpuisi
Seharusnya
Tidak menulis
Tidak membaca
Tidak mengintip
Tidak menduga duga makna dalam
Rangkaian makna
Dari rantai diksi
Pilinan gaya
Sudut pandang gores tajam
Pedang pena
Puasa datang memeluk ketat
Berbisik rindu
Yang pekat
Takut
Tahun depan
Tak jumpa lagi,
Dengus gelisah
Tajam mata harapnya
Menghujam batin lapar
Ketika
Aku menahan rintih
Dahaga
Dan berpuisi,
Ada yang beruntuhan
Ada yang longsor
Di tebing
Tajam
Ada magnet dalam jiwa
Menyatukan elemen
Atom ketabahan berserpih
Menjadi kata hati
Gemuruh marching band sanubari
Berdentum ode semangat
Lalu
Bila Kudiam dan tak menghamburkan
Kata dalam puisi
Sajak dalam kemerdekaan hati,
Untuk apa ada nyali
Api jiwa abadi
Dalam bait
Irama estetika
Kertas kosong bumi
Bukankah tugas kita mewarnai
Atau harus bungkam
Membuang asa kata
Kedalam danau  kepalsuan
Haruskah
Kugantung pena jiwa
Di sarang laba-laba pertapa sepi
Sampai akhir puasa jaman,
Atau tetap kutulis saja puisi
Karena hidup terlalu mewah
Untuk seorang penyair pensiun
Nir cinta
Nir daya
Konon sang pencipta
Mewujudkan dunia terindah
Jagad kompleks ini,
Justru diawali karena membaca puisi
Karya pencipta sebelumnya ,
Kalau saja beliau pensiun ber-syair
Mungkin tak ada realita
Tak ada kita
Masih kau ragu
Melahirkan puisi
Puisi
?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H