Ketika telah sampai di gerbang yang paling kita inginkan, pikiran pun mengatakan telah sampai dirimu, Â nikmatilah sepuasmu. Hasil jerih payah usaha, Â kerjamu, Â fokus impian dan fikiran. Inilah gerbang masuk penting, pintu segala pintu, Â segala arah daya batin dan logika bersinerji, Â padu padan, Â mengantarkan kita sampai pada zona ternyaman.
Sadarilah sampai dengan berhenti, sebuah hal berbeda. Tak bisa disandingkan. Sampai mengantar jiwa dan raga untuk menuju titik tuju yang diinginkan sesuai intuisi, Â langkah yang terukur, sebuah proses kejuangan berliku untuk mencapai puncak gerbang pendakian. Bahwa telah sampai kita pada penanda akhir perjalanan cita cita. Â Bisa dibilang ketika melangkahkan kaki, di titik ini, bisa dibilang, Â kita telah sampai di titik sukses.
Tapi manusia mana pernah puas. Setelah sampai di gerbang dan mengambil. Piala. Kesuksesan, Â lalu meneguk anggur nikmat, Â dari cawan khusus disitu. Â setelah melayang, Â melambung, gembira berlebihan, istirahat sejenak. Biasanya perlu tantangan baru.
Setelah capek hilang, kaki manusia yang dipenuhi ambisi dan api obsesi, Â biasanya melangkah pelan tapi. Pasti, Â bahkan kemudian bisa berlari, Â menuju puncak gerbang sukses berikutnya. Dan ketika sampai titik di depan sana. Siklus mengejar proses sukses akan terus dikejar sampai kiamat nanti.
Disinilah titik menariknya dunia, Â semua penuh api kesumat ambisi di mata, kepala dan hatinya, Â semua serius mewujudkan cita cita fengan caranya, Â siasat dan peta jalan hati dan jiwa masing masing. melelahkan memang, Â kita seperti laron laron yang mengejar cahaya. Â Kita pikir hanya cahaya, Â ternyata adalah api yang membakar raga, Â sekaligus jiwa kita. Mematikan.
Bisakah kita merasa sampai di titik. Manapun di ketinggian gunung lehidupan masing masing, Â tanpa harus saling iri, Â dengki, Â membandingkan, Â lalu kita merasa nyaman dengan pencapaian masing masing, Â kenapa tidak?
Bukankah alam terbentang mengajarkan pada kita, bahwa setiap kali kita mencapai puncak gunung, Â akhirnya kita harus turun kembali. Lalu ketika sampai dibawah kita akan melanjutkan menaiki bukit, gunung tertinggi cita cita. Â Setiap kali sampai kita merasa sukses, Â tapi tak lama kemudian hilang.rasa dan harus kembali mengejar puncak pencapaian material yang lain.
Coba kita resapi, Â saat di puncak ketinggian, Â biasanya hawa teramat dingin, karena kawan kawan seperjuangan banyak yang menyerah. Di puncak gunung itu akan terlihat ketinggian puncak puncak gunung yang lain. Ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Tapi sejujurnya, Â dilihat dari puncak sana, semua nyaris terlihat sama tingginya, sama dinginnya, Â sama rasanya.
Lalu buat apa kita mengejar sukses,  puncak sukses selama ini. Bila sejatinya pencapaian ini semuanya semu,  bahwa puncak sebenar benarnya tak pernah ada. Hanya saja kita mengenalinya sebagai  penanda penting. Kita telah sampai saja, sesungguhnya.
Maka nikmati perjalanan mengejar sukses dengan gembira, Â sepenuh hati. Â Nikmati semuanya tanpa penyesalan, tanpa membandingkan dengan pencapaian masa lalu. Tiap masa pada dasarnya kita punya ukuran sukses sendiri. Â Apalagi dalam situasi pandemi global begini
Dilengkapi jepitan krisis ekonomi yang menyertainya. Â Bertahan saja sudah sukses. Maka melengganglah dan berjaya bebaskan pikiran, hati jiwa, Â emosi dan kata hati. Â Sukses itu tak mesti ada, Â sampai dan mengibarkan bendera di puncak gerbang, Â di puncak gunung penanda tertinggi dari permukaan laut kesadaran. .