Ngeri Di Kota Ambulans

Setiapkali keluar rumah. Baik saat berangkat, maupun pulang karena aneka keperluan.  Selalu saja bertemu ambulans melintas dikawal sukarelawan motor motor pengawal,  pembuka jalan. Lampu sirine berkerlap kerlip dan suaranya amat mengganggu dan mengguncang hati. Begitu banyaknya kendaaraan alat pengangkut orang sakit atau jenazah,  melintas bolak balik,  memenuhi jalanan kota. Sungguh meresahkan, apakah semua orang sakit,  atau begitu banyak yang tumbang takdirnya,  dicabut malaikat maut gara gara terjangkiti virus pandemi.

Badan jadi merinding. Bulu roma berdiri,  diam diam,  setiapkali ketemu ambulans yang menyalip searah atau ngebut melawan arah,  atau yang berjalan dengan sirine menyala dan bunyinya yang melengking lengking. Entah dimaksudkan menakut nakuti petugas langit memcabut nyawa. Entah dijadikan teror,  agar semua orang perduli dan takut keluar rumah.

Pertemuan demi pertemuan dengan ambulans di jalanan, bwberapa minggu terakhir, membuatku gugup,  cemas sekaligus ketakutan. Sehingga tidak doyan makan dan sulit fokus bekerja. Maka aku memutuskan minta ijin pada atasan untuk pulang cepat. Maksudku,  mencoba istirahat sejenak dari kepenatan penampakan moda angkut orang sakit yang makin sering kutemui,  dimana mana. Melepaskan stres.

Tapi perjalananku pulang,  siang ini,  justru menjadi klimaks perjumpaan tak terduga dengan mobil putih panjang,  dengan lampu kelap kelip dan bersuara berisik, menakutkan. Tidak sekadar ketemu satu atau dua, kali ketemu 13 ambulans. Keringat dinginku mengalir deras. Badanku jadi menegang dam dingin. Maksudku menghindar,  justru malah ketemu mobil paling menakutkan itu tiada habis,  kali ini.

Sampai di rumah,  aku segera minum obat tidur,  untuk melupakan segala kecemasan yang menyerangku. Tidak sempat ganti baju,  bahkan lepas sepatu,  aku sudah pulas dengan cepat,  di sofa,  bahkan tidak sempat pindah ke ranjang lagi. Tidur yang nikmat.

Hanya beberapa jenak saja. Lalu aku merasakan, sepertinya pintu rumahku diketuk.  Ada yang menyapa, ternyata istri Pak Sobri datang meminta tolong, suaminya sesak nafas sehingga tidak bisa membawa ambulans. Lahi. Sementara jenazah harus diantar. Mengingat mereka tetangga baik yang sudah melebihi saudara kedekatannya. Maka kuputuskan membantu dengan sukarela. Ketika kunci mobil kuterima, istri sahabatku itu,  juga menyodorkan baju APD (Alat Pelindung Dirii).Langsung kukenakan tanpa banyak pikir. Ketakutan yanh sempat menyerbu rasaku,  pergi begitu saja. Ditiup. Oleh rasa solidaritas dan kemanusiaan yang mendadak hadir.

Aku jadi berani, kureguk kopi yang ada di termos sebelah setir . Segar dan hangat mengisi  dada,  setelaj berdoa sedikit, aku menyalakan mesin. Kulirik arah tujuan,  ke pemakaman khusus korban covid, pinggiran kota. Begitu aku keluar ke jalanan, kulihat di depan dan belakangku semua mobil ambulan. Bahkan di jalan yang berlawanan yabg melintas hanya ambulans.  Demikian juga di jalan toll. Seisi jalan,  hanya ambulans saja.  Saat aku naik ke jalan layang tertinggi, kulihat dengan mengharukan dan tak masuk akal,  seluruh jalanan kota berisi mobil ambulans dengan lampu sirine dan alram suaranya yang khas. Kotaku berubah jadi kota ambulans.

Setelah melewati jalan panjang dan berliku, akhirnya sampai juga di TPU (Tempat Pemakaman Umum) khusus,  tapi antrian mobil ambulans begitu panjanh, nyaris satu. Kilometer seperti ular saja. Kucoba sabarkan diri,  namun karena lelah, aku tertidur di dalam kabin sopir. Tidur yang cepat dan pulas.

Ketika aku tersentak kaget,  ternyata aku berada di dalam peti mati yang ada di dalak ambulans. Aku makin gemetar ketakutan, aku kemudian pingsan cepar,  ketika aku bangun lagi, situasi gelap gulita dan dingin.apakah aku sudah berada di lianh lahat,  batinku.
Dalam kegelapan itu, kurasakan jilatan Molly, kucing hitamku,  menjilat jilat mukaku. Basah.  Geramannya membangunkanku. Kamarki gelap gulita.

Tit
Tiiit
Ah,  listrik rumahku mati. Bunyi sinyal meteran habis pulsa. Menyadarkanku,.aku bersyukur, masih hidup dan sehat.  Ternyata semua hanya bayangan buruk dallam tidur. Terima kasih Molly,  kucing kesayanganku kali ini menyelamatkanku.

Tok
Tok
Tok !
Pintu rumahku diketuk panik.
"Siapa ya? ", tanyaku takut takut.
"Bu Sobri,  Mas andre. Bapak mau minta tolong Mas...! ",katanya cemas.
Ah, jangan jangan...