Mohon tunggu...
gurujiwa NUSANTARA
gurujiwa NUSANTARA Mohon Tunggu... Konsultan - pembawa sebaik baik kabar (gurujiwa508@gmail.com) (Instagram :@gurujiwa) (Twitter : @gurujiwa) (Facebook: @gurujiwa))

"Sebagai Pemanah Waktu kubidik jantung masa lalu dengan kegembiraan meluap dari masa depan sana. Anak panah rasa melewati kecepatan quantum cahaya mimpi" ---Gurujiwa--

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cupang Dileherku Siapa Bikin, Kamu ?

26 Januari 2021   20:40 Diperbarui: 26 Januari 2021   21:15 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aneh,  malam yang tak bisa dijelaskan. Tidur di hotel mewah, kasurnya empuk dan kamarnya luas berpendingin udara. Tapi,  aku tak bisa tidur barang sekejap mata saja. Malam berlalu lambat,  menggelisahkan hati.

Apalagi ketika menjelang tengah malam, aku menemukan beberapa bonggol bawang putih besar yang ditaruh di sudut dalam lemari, di bawah ranjang,  dan di kolong meja. Buatku aneh,  ada bumbu dapur di kamar semewah itu. Maka kubuang semua bawang putih besar itu keluar, ke teras,  melalui jendela yang kubuka.

Baru suasana jadi adem dan tenang,  tidak sepanas tadi. Lalu kuganti baju dengan daster tipis warna biru berbahan satin. Setelah sikat gigi dan cuci muka. Aku mulai amat mengantuk. Dan berniat tidur. Kumatikan semua. Lampu, hanya kusisakan lampu baca kecil,  di samping kanan kasur,  saat aku hendak menarik selimut, menutupi tubuhku.

Lamat lamat kulihat,  sesosok pria tampan, berpakaian jas hitam mahal. Tersenyum ramah,  karismatis, matanya yang tajam menghipnotisku. Membuatku menatapnya penuh kekaguman.

"Siska,  aku ingin berterima kasih...", tutur pria misterius yang mendadak hadir di kamarku dan juga tahu namaku.
"Berterima kasih,  karena kau singkirkan bawang putih penolak kehadiran kami", jelasnya sambil tersenyum memukau. Tatapan nya sungguh menyihir dan membekukan tulang.

Hanya dalam sekejapan,  ia mendekat,  dan memperkenalkan dirinya, tanpa kata,  secara telepati. Namanya Hans,  Aku pasrah dan tak bisa melawan. Lalu,  dari giginya keluar taring putih tajam. Hans minta ijin menghirup sedikit darah dari leherku. Mataku membelalak menolaknya,  tapi ketika, ia sampaikan bahwa sudah 30 tahun menahan haus akan darah manusia .  Aku pasrah,  sepasrahnya. Ketika akhirnya gigi tajam itu menembus leherku. Pedih.  Sakit. Namun nikmat.

Lalu aku kehilangan kesadaran, tertidur pulas. Belum pernah aku tidur sepulas,  senyenyak itu. Hampir tengah hari,  aku terbangun. Badanku terasa segar dan sehat. Saat aku berkaca, aku melihat ada bekas cupang memerah  di leher atas kanan. Ah,  bekas gigitan mesra siapa,  aku lupa. Sungguh tak ingat.

Saat aku mandi di pancuran air panas,  rasa takut dan lelah kurang tidur pun hilang sama sekali. Segar.

Sementara dari lukisan di dinding kamar, bergambar gedung tua,  ada sosok lelaki tampan berbaju jas hitam,  matanya tajam. Terlihat menyala, senyumnya tipis tapi bengis . Byar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun