Mohon tunggu...
gurujiwa NUSANTARA
gurujiwa NUSANTARA Mohon Tunggu... Konsultan - pembawa sebaik baik kabar (gurujiwa508@gmail.com) (Instagram :@gurujiwa) (Twitter : @gurujiwa) (Facebook: @gurujiwa))

"Sebagai Pemanah Waktu kubidik jantung masa lalu dengan kegembiraan meluap dari masa depan sana. Anak panah rasa melewati kecepatan quantum cahaya mimpi" ---Gurujiwa--

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Hati Hati Ngopi Di Meja 13

25 Januari 2021   19:47 Diperbarui: 25 Januari 2021   20:08 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(depositphotos/paulgrecaud)

Di meja nomer 13, posisi terluar di teras kebun kafe kopi Jiwa Bebas,  jarang yang mau duduk,  kecuali penuh. maklum tempatnya dingin,  banyak angin dan agak menyeramkan,  dibawah pohon beringin.

Paling hanya aku yang terbiasa menikmati kopi tubruk spesialite nusantara kesukaan. Tak ada kopi daerah tertentu yang jadi favorit lidahku. Berganti ganti, kadang asal Mandailing, kadang Bajawa, variasi kopi Papua juga menyenangkan. Problemnya,  untuk urusan meja aku tidak pernah mau diganti. Hanya meja itu yang posisinya menentramkan hatiku. Melengkapi syahdu,  sendu menghirup aroma surga dalam secangkir kopi tubruk pahit.

Walau ada dua kursi disitu,  jarang aku mau berbagi meja. Kesendirian adalah kenikmatan lain yang tak terkatakan. Sampai suatu kali,  kulihat seorang gadis misterius mendahuluiku duduk disitu. Mukanya yang ayu tapi angkuh, dingin,  tertutupi rambut bob sebahu. Asyik saja dia menghirup rokok elektroniknya. Saat kuhardik dengan tatapan setengah mengusir,  justru aku tergetar oleh tatapan mata kucing tajamnya.

Seperti disihir,  aku terduduk, pucat lesi, wajahku nyaris tanpa darah seperti dihisap habis oleh tatapan membius matanya. Waktu seperti berhenti. Angin berhenti bertiup. Suara suara kehilangan getarannya. Kami saling fokus,  dengan tatapan magnet dua kutub yang sulit dilepas. Sepertinya banyak kata kata cinta yang kami sampaikan tapi tak ada yang keluar dari lidah kelu kami. Sunyinya sunyi,  dunia besar ini,  seperti hanya milik kami berdua.

Sementara di kafe kopi itu terjadi kehebohan, jasadku tiba tiba menghilang dari tatapan seluruh pengunjung.  Dalam tatapan mata mereka, begitu aku duduk di meja nomer 13, hanya cangkirku yang tergeletak di meja.  Begitu petir menyambar,  ragaku hilang lenyap dari pandangan, semua yang hadir disitu.

Padahal aku tak kemana mana,  tetap disitu, terjebak di dunia meja bawah beringin. Menikmati bercangkir cangkir kopi bersama perempuan belahan jiwa yang baru kukenal tapi jadi kiblat hari hariku.

Anehnya tak ada yang mengenal gadis ayu semampai itu kecuali aku. Sampai hari ini,  pelayan selalu memberikan dua cangkir kopi tubruk spesial di meja kosong kami. Selalu kami habiskan berdua. percakapan tak kasat mata kami penuh canda, romantika, riuh penuh perdebatan ideologis, filosofis, berdua. Sungguh kami saling terikat,  saling mengagumi. Sayang kalian tak melihat tali batin kami.  

Bukankah hidup hadir dan bermakna, layaknya percakapan basa basi, saat sekedar mampir minum kopi ?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun