Perasaanku sebagai penulis tidak salah, kali ini tulisan yang kuketik akan jadi novel aksi menegangkan. Sungguh sketsa penokohan, latar belakang dan lokasi cerita dengan sinopsis alur cerita yang maju mundur. Pasti menarik jadinya.
Baru satu halaman pertama saja, sudah kelihatan bibit tulisan ini akan sukses ketika jadi buku di pasaran. Perasaanku meluap-luap dan bergetar luar biasa. Dan HP-ku memang bergetar.Â
Sahabat baikku, Yongkie, Pelukis abstrak. Mau menggadaikan 10 lukisan terbarunya untuk kebutuhan hidupnya. Sebagai sesama teman, masih ada sedikit uang tabunganku. Dengan ringan hati kugeser sisa isinya. Namanya teman. Bukankah harus saling tolong. Apalagi di masa pandemik seperti ini.
Baru saja lukisannya kubayar dan kujadikan status di media sosialku. Tetanggaku Pak Amir, pensiunan jenderal yang menginvestasikan simpanannya di hotel tepi laut, di kampung halamannya, Pacitan. Perlu lukisan banyak, buat hiasan kamar kamar barunya.
"Dik Amri, itu lukisannya bagus bagus. Boleh bapak tukar dengan land cruiser hijau lumut bapak?" tanyanya mantap. Aku gelagapan saat di telepon. Â Maklum sedang mulai tenggelam. Â Larut dengan tokoh tokoh yang kuceritakan di dalam laptop kesayanganku.
Aku berpikir sebentar. Lalu kujawab sekenanya saja.
"Kalau cash saja, 212 juta bagaimana Pak?" tanyaku setengah merajuk. Acuh acuh butuh.
"Oke, Dek, kirim nomer rekeningmu sekarang. Besok pagi, 10 lukisanmu sudah harus ada di gudangku ya!" perintah beliau, seperti gayanya, seperti saat aktif dulu.
Hmmm, setelah beberapa menit, kukirim nomer rekening, tak berapa lama aku mendapat notifikasi kiriman uang dari beliau. Aku, jadi bingung, uang sebanyak itu akan aku jadikan biaya cetak novel karyaku. Atau membeli sisa lukisan sahabatku jadi art dealer profesional. Terlintas dalam benakku, aku ingin jadi petani saja. Jangan marah, Aku, penulis yang tak pernah setia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H