Jejen merasa aneh, dengan saran yang tidak masuk akal itu, sebagai anak yang berbakti. Ia tunaikan ritual suci yang aneh itu.
Sebelum subuh , selama tujuh hari itu Jejen, sesuai amanat Bapak yang dia hormati, agar terlepas dari kutukan kusta. Membawa piring, gelas dan serbet ke lapangan rumput.
Kaki kanan menginjak piring, lalu serbet makan di tangannya ia sapukan ke rumput sampai basah kuyup, kemudian ia peras ke dalam gelas.Â
Begitulah ritual aneh dan unik, menguji hati itu, Jejen lakoni dengan iklas. Hasil embun yang terperas di gelas, ia minum dengan harapan agar serangan kusta berhenti menghadapi tubuhnya yang disucikan embun.
Ada sensasi segar, sejuk menyelusup dada. Dan membuat enerji tubuhnya seimbang lagi. Tepat hari ketujuh, ritual itupun dihentikannya, sesuai perintah Rumedjo.
Ditunggu satu- dua minggu, satu-dua bulan tak banyak berubah. Serangan bakteri Lepra ini membuat Jejen kehilangan kuasa pada saraf tepi tangan dan kakinya. Jari jemari tangan dan kakinya mati rasa.
Malam semakin panjang, Jejen, Rimedjo dan Ibu Tyas, makin sulit tidur, dan mereka tahu bahwa kutukan Lepra terus mencegat nasib Jejen, bahkan lebih buruk dan menakutkan dari mimpi terburuk.
Jejen iklas, tetapi Ayahnya, Ibunya menyesal sangat, kenapa kemiskinan, begitu dasyat mereka alami, sampai membuat Jejen kecil harus terus kontak dengan 666 penderita kusta yang  dirawat di bangsal perawatan waktu itu.
Hidup kadang bukan sekedar pilihan sederhana. Bahkan saat tak ada pilihan, hidup harus terus berjalan. Seperti nelayan Petarung sejati, harus menepi dari badai tersulit yang menghempaskan, mengombang - ambingkan perahu perasaan tanpa ampun
Jejen berusaha tabah
Berusaha sabar
Menerima deritanya
Dengan prasangka baik.
**