Mohon tunggu...
Azka Subhan
Azka Subhan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

a humble guy, menulis untuk pencerahan, memberi manfaat dan menjemput kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepenggal Kisah, Berkunjung ke Klinik “Tong Fang” di Negeri Asalnya

14 Januari 2014   10:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rakarv.blogspot.com

[caption id="" align="aligncenter" width="415" caption="rakarv.blogspot.com"][/caption]

Selepas menghadiri seminar internasional di Beijing, saya dan beberapa kawan ingin menikmati keindahan negeri Panda sejenak. Kamipun mengikuti city tour Beijing dan sekitarnya. Karena sering berjalan kaki menuju obyek turis, kaki dan badanpun terasa pegal. Kamipun ditawari sang guide, Jimmy untuk menikmati refleksi, gratis pula. Ah betapa menyenangkan, apalagi di negeri China yang kami pikir jago dan pusatnya bidang refleksi ini.

Kamipun memasuki gedung dan tempat yang cukup representatif. Namanya mengusung Akademi Tradisional Pengobatan China (sebenarnya ada foto dan nama lengkapnya, dengan pertimbangan tertentu tidak saya sertakan). Kami dibawa ke ruangan yang cukup luas dengan beberapa kursi besar. Air hangat dalam baskompun dimasukkan, kami bersiap untuk dipijit. Lalu datanglah pria berumur sekitar 50 tahunan, mengaku pernah tinggal di Indonesia dengan bahasa Indonesia sangat lancar.

Kaki kamipun mulai dipijat pelan-pelan namun hanya sejenak, tidak benar-benar pijit reflkesi, sekedar pijit-pijit setempat di telapak kaki. Sang pria dengan gaya dokterpun itu mulai memperkenalkan diri dan membuka layar LCD. Ternyata mau presentasi mengenai kesehatan dan tenik pengobatan alternatif, gabungan pengobatan medis dan tradisional. Lalu terjadilah diskusi yang menarik terkait kesehatan dalam bahasa Indonesia. Sesuatu yang membuat suasana akrab dan “homy”. Pijatanpun berhenti tak dilanjutkan, presentasi sekitar 15 menitan.

Selanjutnya, masuklah beberapa orang berpakaian dokter dan didampingi seseorang (ternyata penerjemah). Mereka memeriksa kami berempat dengan seksama. Lalu tibalah “vonis” bagi kami tentang kondisi kesehatan kami masing-masing. Diagnosapun ditegakkan dengan hasil “mengagetkan”. Saya dideteksi darah tinggi parah yang mengganggu jantung saya. Padahal saya tahu percis kondisi tekanan darah saya. Malah penyakit yang saya punya riwayatjustru tidak terdekteksi. Saya guyonin saja mereka, “ayo cari penyakit saya apa?”.

Teman-temanpun yang jauh lebih muda dari saya (masih dibawah 30 tahun) divonis bermasalah lambungnya, ada yang ginjalnya. Yang jelas semua pasti dalam kondisi yang cukup parah. Padahal tidak diperiksa pakai stetoskop maupun cek labolatorium. Sekedar diperiksa nadi dan kondisi fisik tubuh dari luar saja, karena kami tetap berpakaian dan duduk di kursi. Saya protes keras, harusnya diagnosa harus ditegakkan dengan laboratorium dan pemeriksaan lengkap. Penerjemah bilang mereka sudah sangat ahli.

Selama pemeriksaan itu, kami diperiksa “dokter” yang didampingi penerjemah yang bisa berbahasa Indonesia. Sebenarnya kami ingin langsung berbahasa Inggris saja dengan dokternya, entah kenapa penerjemah ini yang bertugas menerjemahkan sekaligus “menakuti-nakuti” betapa parahnya penyakit kami. Kami diminta membeli resep obat herbal untuk 3 (tiga) bulan ke depan. Harganya sekitar Rp 3-5 juta dalam kurs rupiah. Kami bilang tak punya uang sebanyak itu, karena untuk keperluan belanja dan oleh-oleh juga, kami coba berkilah. “Ya sudah, resep sebulan saja hanya sekitar 1-2 jutaan, bisa pakai kartu kredit” bujuk mereka.

Ternyata kami terus “dirayu” untuk membeli obat sesuai diagnosa penyakit kami masing-masing plus bonus betapa bahayanya kalau tidak segera diobati. Dua orang teman kami yang relatif masih muda “termakan” rayuan juga. Jutaanpun melayang. Terbukti sekembali kami ke tanah air dan diperiksa ulang,tidaklah terbukti diagnosa“mengerikan” tersebut.

Saya tetap bergeming, karena sudah melihat ada yang tak rasional dan pernah dibegitukan sama “ahli” pengobatan alternatif di Indonesia. Umumnya, langsung memvonis penyakit parah dan harus segera diobati. Memberi langsung obat hanya dengan diagnosa minimal. Nyatanya, penyakit sayapun ngga bisa mereka deteksi. Saya kembali jadi teringat “Klinik Tong Fang” di Jakarta yang kerap wara-wiri beriklan, tapi sekarang sudah menghilang.

Keluar dari klinik, saya protes ke Jimmy sang guide. Katanya ya terserah kepada keputusan kami. Yang jelas kami ngga dapat pijat refleksi. Iya juga sih, mana ada barang gratis tanpa maksud tertentu. Bodohnya kami juga. Saya jadi curiga si Jimmy sebagai tour guide ini “kong kalikong” dengan klinik tersebut.

Saya merasa cukup heran dan masgul. Kenapa klinik sebesar ini memperlakuan kami begitu?. Padahal kalau dilihat foto-fotonya cukup “meyakinkan”. Ada gambar Gus Dur dan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad juga berobat disitu. Mudah-mudahan ada Kompasianer yang bisa menjelaskan kalau punya wawasan dan pengalaman dengan hal ini. Karena saya sudah tak peduli lagi. Saya semula hanya ingin refleksi saja, bayarpun tak apa. Tapi jutaan rupiah teman-teman malah melayang, gara-gara terbujuk dengan cara canggih model “Klinik Tong Fang”.

Lesson learnt, waspadalah dan gunakan logika !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun