[caption id="" align="aligncenter" width="648" caption="media.kompasiana.com "][/caption]
Membaca buku Pepih Nugraha “Kompasiana, Etalase Warga Biasa” membukakan mata saya tentang sejarah berdirinya Kompasiana. Betapa Kompasiana dibangun dengan penuh perjuangan dan dinamika. Mulai dari semula didesain sebagai blog untuk jurnalis Kompas (journalist blog) plus blogger tamu saja. Hingga berkembang untuk warga biasa (public blog). Dari pertimbangan mengarah kepada citizen journalism menjadi plaform cukup dengan “menulis” dalam artian yang cukup luas. Penulisnya yang akrab disebut dengan Kompasianer, beragam dari yang masih anak SMA sampai opa-oma.
Perjuangan Kang Pepih yang pernah diledek dengan “Pepihsiana” telah melahirkan media sosial yang disegani di tanah air ini. Saya ingin menyebut Kompasiana sebagai “ladang amal” bagi para penulisnya. Menulis dengan rasa tulus, sekedar kepuasan agar tulisan bisa dibaca dan memberi manfaat pembaca. Semoga diganjar dengan pahala oleh Allah SWT. Sementara itu, beberapa blog yang membayar penulisnya, ternyata berujung “wafat” tak kuat menanggung beban finansial. Sementara Kompasiana yang “lillahi ta’ala” ini alias blog gratisan, justru tetap berkibar sampai saat ini.
Judul diatas memang lahir karena rasa penasaran saya, berapa lama Kompasiana dapat bertahan? Dengan platform atau format yang diusung sekarang yakni “menulis”, berapa lama dapat beradaptasi sebagai sosial media komunitas para penulis. Kompasiana telah dibesarkan dan tetap dapat berkelanjutan karena peran 2 (dua) aktornya, yakni pengurusnya (baca: admin) dan kontributornya yakni para Kompasiners. Kreatifitas pengelolaan yang dapat mengadaptasi jaman serta penulis yang menulis secara bernas dan berkualitas, akan makin menjamin umur Komapsiana lebih panjang. Kini, sudah 5 (lima) tahun usia Kompasiana, jika diibaratkan dengan umur manusia ia baru bersekolah di TK. Betapa kita semua harus mengasuhnya agar menjadi “anak yang cerdas, bermanfaat, mencerahkan dan membahagiakan” dalam hidupnya kelak.
Dua bulan sudah saya berKompasiana, sudah banyak sahabat diskusi dan bertukar pikiran. Betapa banyak tulisan mencerahkan, memberikan inspirasi kehidupan, melahirkan manfaat tak terkira. Tapi saya juga berjumpa dengan tulisan yang membuat pembacanya tak berkenan dan debat seru bahkan sengitpun tak terelakkan. Itulah dinamika dan romantika dalam interaksi satu komunitas. Tulisan yang menghibur dan menimbulkan gelak tawa juga tak terlewatkan. Makanya, saya merasa seperti menemukan oase di tengah gurun pasir ketika bertemu dengan Kompasiana. Akhirnya saya sadari bahwa ternyata yang semula warga "biasa", kian lama menjelma menjadi warga "luar biasa".
Catatan akhir, semoga dengan berKompasiana, saya bisa ikut “membesarkan” Kompasiana walau hanya setitik noktah kontribusinya dan sungguh tak seberapa. Dan semoga saya bisa “dibesarkan” pula oleh Kompasiana bersama sahabat-sahabat Kompasiners dan Kang-Mbakyu Ngademin tercinta. Entah berapa lama lagi usia Kompasiana? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H