[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="illustrasi (www.anehdidunia.com)"][/caption]
Sinyo, nama panggilannya. Ia putih, berambut lurus dan sipit. Itulah sahabatku saat SMP, ketika aku mendapat teman sebangku seorang Cina dan beragama Kristen. Bagi aku yang dibesarkan dalam lingkungan Islam cukup kuat, agak tak biasa bergaul dengan kalangan Cina. Kami sekolah di SMP Negeri favorit. Aku jadi ingat dia, karena beberapa tulisan Kompasiana berkisah tentang toleransi beragama. Sungguh menarik dan menginspirasi. Aku juga ingin berbagi kisah pribadi.
Biasanya Cina itu mampu atau kaya, tapi Sinyo ini termasuk Cina miskin. Sambil sekolah ia nyambi jadi loper koran. Hebatnya, Sinyo ini pintar dan rajin mencatat pelajaran, tulisannya juga bagus. Akhirnya kami sering bersaing untuk mendapatkan nilai yang baik. Bersaing secara sehat, memotivasi belajar kami mendapatkan rangking di sekolah. Lama-lama kamipun membangun persahabatan karena seringnya berinteraksi sebagai teman sebangku.
Lambat laun kami makin terbuka dan jadi sering ngobrol. Papah mamanya sudah tua dan tak bekerja. Kehidupannya dibantu kakaknya, termasuk biaya sekolahnya. Suatu saat, Sinyo menawari langganan koran. Akhirnya aku usul Bapakku, agar koran langganan diganti. Saat tahu yang mengantar seorang Cina, bapakku sempat marah-marah. Tapi kujelaskan bahwa itu buat bantu uang sekolahnya. Akhirnya bapak setuju juga.
Sinyo mengenalkanku pada berbagai kegiatan seperti bulu tangkis. Maklum waktu itu aku tinggal di kota Kudus, bulutangkis adalah olahraga favorit. Selain itu, Sinyo pulalah yang mengajakku rajin nonton film di bioskop rakyat yang murah meriah. Film yang kami sukai adalah kung-fu. Bintang favoritnya Bruce Lee, Chen Lung, Yastaki Kurata dan Jackie Chen waktu muda. Sinyo pula yang membuatku suka nonton film India yang bikin “nangis bombay” itu. Bintang topnya Amitabh Bachan dan Hema Malini.
Sinyo rajin ke gereja dan juga rajin berdoa, terutama kalau mau ulangan. Untuk ukuran penganut Kristen ia termasuk rajin beribadah. Entah kenapa kami ngga pernah memperbincangkan agama kami. Hanya saja dia sering mengingatkan sudah sholat belum? Sementara aku, berprinsip menghormati agamanya. Rasa tenggang rasa berjalan mengalir begitu saja. Saat kusadari, dia banyak mengenalkan hal-hal baru ketika aku menginjak remaja.
Sayang sekali, kami sudah lama putus kontak. Terakhir ketemu sudah jadi akuntan tinggal di Semarang, sementara aku merantau di ibukota. Tapi kenangan bersama Sinyo yang Cina dan Kristen, tak pernah kulupakan. Kebersamaan kami melahirkan pemahaman tentang toleransi walau berbeda ras dan agama. Persahabatan yang berjalan natural dengan indah. Terimakasih Sinyo ! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H