Ada banyak pilihan untuk menerbitkan buku.  Mulai dari penerbit yang sudah tercatat namanya di hati, sebab sering iklan sana-sini sejak zaman dulu, dan sering terlihat dengan mata fisik bukunya, hingga penerbit buku  yang tak ada bukunya di toko-toko buku. Penerbit yang tak ada bukunya di toko buku ini, sangat banyak sekali. Termasuk penerbit buku yang saya punya. Tak pernah ada bukunya di toko buku, tapi tetap laku.
Tulisan ini, saya hanya fokus pada suka duka menerbitkan buku sendiri berdasarkan pengalaman saja.
Apa yang saya rasakan terkait menulis kemudian menerbitkannya bermula dari berdirinya Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Azka Gemilang yang saya kelola. Melalui TBM ini saya mendirikan Komunitas Penulis Muda Asahan (Kompimas). Adapun aktivitas Kompimas adalah dengan memanfaatkan buku-buku yang ada di TBM, membaca, menulis ulang hasil yang dibaca, kemudian menghasilkan karya berupa tulisan yang diterbitkan.
Langkah menerbitkan buku adalah cara kami mencatatkan sejarah, ada karya yang telah tersurat. Meski tak pernah terbersit setelah terbit, harus dijual dan menghasilkan kentungan. Sebab, hal utama adalah terbit dulu.
Mengumpulkan karya kawan-kawan Kompimas untuk dijadikan buku tentu bukan masalah, sebab bila ada tulisan yang telah disiapkan apalagi dilakukan secara bersama dalam komunitas tentu akan lebih membahagiakan. Namun, masalah muncul setelah tulisan terkumpul. Tidak ada penerbit buku di kampung kami, Kota Kisaran Kabupaten Asahan. Walhasil, buku yang direncanakan terbit, terancam tidak terbit.
Maka dicarilah cara melalui aneka alamat melalui mesin pencarian google. Ada banyak di pulau Jawa. Hanya saja, karena kami komunitas yang tak pernah mengumpulkan iuran apa pun dalam kegiatannya, maka segala penerbit yang ada di Pulau Jawa itu, terbilang mahal. Proses menerbitkan buku ber-ISBN, dicetak, dan kemudian ditambah ongkos kirim buku, menjadikan harga buku yang akan kami terbitkan itu terasa mahal. Perihal ini di tahun 2012.
Saya mencoba mencari tahu bagaimana menerbitkan buku. Belajar dari aneka informasi terkait proses menjadi penerbit, Alhamdulillah, pada tahun itu juga dengan meminjam akta notaris teman, saya mengurus penerbit. Barulah setelah ada uang yang cukup, saya urus badan hukum TBM dan memanfaatkan badan hukum itu untuk menjadi penerbit sendiri.
Langkah selanjutnya tentu ada masalah lain yang muncul. Bagaimana mencetaknya menjadi sebuah buku? Saya keliling ke percetakan di kampung saya, tak ada yang mau kalau mencetak buku hanya 10 buah saja. Dulu istilahnya yang saya pahami itu POD (Print on Demand-cetak berdasarkan permintaan). Kalau pun bisa, ya harganya di atas 1 juta rupiah. Waah, ternyata lebih mahal dari pada mengurus ke penerbit lain di Pulau Jawa.
Masalah ini saya jadikan kesempatan dalam kesempitan. Saya pun belajar dari Youtube bagaimana cara mencetak tulisan menjadi buku. Tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia, saya translate melalui google dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah tertemukan.
Memanfaatkan printer sejuta umat canon Ip2770, buku sepuluh buku berhasil saya buat. Tentu, dengan berkali-kali uji coba. Bahkan saya sempat membuat alat sederhana dari kayu untuk mengelem punggung bukunya.
Kawan-kawan yang tulisannya tergabung dalam buku terbit itu, merasa senang. Melalui corong cerita mereka, dan kebahagiaan mereka yang tertumpah di media sosial, sejumlah orang jadi tahu bahwa saya dapat menerbitkan dan mencetak buku sendiri. Sejak itu, sejumlah buku dari kawan-kawan yang telah banyak menulis, tapi tidak tahu mau diterbitkan di mana, akhirnya terpecahkan dan mendapatkan solusi.