Seketika raut wajah berulang datang, seperti mendendam pada yang tak pasti. Kau sengaja mengeja rasa, hingga relung jiwa bertekuk di dada. Apalah itu, apalah ini, apakah ia pantas berurai air dari mata air atau air mata? Seketika raut wajah berulang datang, kelam dan bimbang, hingga membising berdentang di kolong malam, pagi, siang, hingga petang, lagi.
Seketika entah wajah mana lagi yang mesti kutampilkan, sementara ada keraguan yang tak mungkin terwakilkan. Catatan telah bias, hingga merembes tak membekas. Panas telah menguapkan segala. Seketika raut wajah menjadi tak lagi secahaya di antara cahaya.
Seketika itu pula, sirna.
Kisaran, Rumah Azka 15-06-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!