Hari ini senja mulai temaram, sebagaimana waktu semakin kelam. Tak mungkin pula aku menurutkan keinginan untuk menantikan kabar yang tak pasti datang. Apakah pantas untuk diperjuangkan atau sekedar diperdebatkan? Entah. Aku pun tak berpaham, tak ada pegangan. Dentuman hati remuk redam, cuaca sesekali memerihkan mata, hingar bingar kisah memekakkan telinga. Berapa lama waktu ini akan tergulirkan dengan ribuan sesak yang tak layak?
Esok, bila aku terkapar dalam keranjingan, tentu tak hanya doa yang menjadi cemeti pemercepat kesaktian, kurasa begitulah takdir. Jangan kau ikut pada yang penuh bercak, berduri, dan berkarat melumpuh otak. Bersisianlah dengan iman, hingga ribuan rindu berubah menjadi naga, menyemburkan api cinta yang membahana. Menghangatkan gigil yang menjenggala di hati.
Betapa aku masih bimbang, hati terkapar dan terbakar. Meski saban waktu bersabar, bendera kerancuan berkibar. Mengikuti arah angin yang acap menguak luka melebar. Aku sepantasnya tak pantas menjadi yang bijak, sebab seperti inilah dendam pertikaian, dari hati. Seperti melapuk dan bertaburan tertiup angin. Aku lunglai, dilipat doa yang semakin tak banyak.
Untunglah seribu bahagia, kau selalu menjadi teman setia. Sabarlah cinta, sabarlah, katamu. Sebagaimana doa-doa yang tak boleh hambar, bergegaslah menuju ruang seperti kamar, merebahkan segala cemar, hingga terbit rasa cinta membesar.
Bersabarlah, sayang! Esok jendela menyeruak cahaya, betapa setiap aroma menjadi nirwana. Belaianmu menguatkan jiwa. Apapun itu, apapun kelak, biarlah kisah menjadi cemeti. Bukan kamera depan android yang memfilter wajah. Membau atau menyusu, tak ada bedanya. Hentilah dengan sebiji doa. Yang tepat mengena jiwa. Hilanglah jemawa. Paragrafmu penuh Nirwana.
Betapa, sabar ini sungguh mahal ya, Sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H