Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Plagiasi Itu Sebagian dari Kebahagiaan

30 Mei 2021   11:25 Diperbarui: 30 Mei 2021   11:49 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman khawatir menuliskan hasil karyanya pada media mana pun. Kekhawatiran itu karena menurut informasi yang didengarnya, tulisan yang sudah dikirim di media sosial, tidak bisa dibuat sebagai buku yang ber-ISBN. Makanya cerpen-cerpen yang sudah kutulis itu tak mau ku unggah lagi, katanya. Capek buatnya, malah dianggap kita plagiat, lanjutnya.

--

Pernah tahu penulis dan artis bernama Raditya Dika? Dia memulai karir keartisannya dari menulis di blog. Hasil dari tulisannya di blog, diterbitkannya menjadi buku ber-ISBN. Pernah tahu flatform tulisan daring seperti Wattpad? Sama seperti blog, menulis di platform ini menjadi lebih asyik. Banyak orang yang sudah menulis di sini, melanjutkan tulisannya menjadi buku dan ber ISBN.

Bahkan tulisan-tulisan yang terbit di Kompasiana pun begitu. Kalau sudah kita yang menulis, ya memang kitalah penulisnya. Mau diambil lagi dan diterbitkan menjadi buku bungai rampai (antologi) ya sah-sah saja. 

Kecuali tulisan yang diterbitkan itu adalah hasil plagiat, mencomot-comot tulisan orang tanpa memberikan sumber yang jelas. kan ga asyik. Atau justru tulisan kita yang sudah terbit di media manapun, diterbitkan oleh orang lain, tanpa permisi, dan tanpa perasaan dengan menggunakan namanya. Itulah definisi plagiat. Prosesnya bernama plagiasi, orangnya disebut aligator, egh plagiator.

Kamu bisa melihat tulisan saya sebelumnya yang berjudul Tukang Tunggu dalam Menulis. Saya sengaja mengutip pendapat Said Matondang, karena setelah saya baca memberikan inspirasi untuk menuliskan ide lainnya. 

Makanya beberapa kali saya tuliskan menurut Said, lanjut Said, dijelaskan Said. Saya mengutip dan menyebutkan judul bukunya. Bila mau lebih formal, sebutkan pula halaman, tahun terbit, dan penerbitnya. Bila kutipan dari Kompasiana misalnya, sebutkan juga laman lengkap dan penulisnya. Agar pembaca yang membaca tulisanmu itu, merasa tertarik untuk menuju laman pendapat penulis sebelumnya.

Kamu bilang plagiasi itu sebagian dari kebahagiaan. Kok malah penjelasan di atas ada orang yang tega melakukan plagiasi? Ga asyik nih.

Sabar dulu, habiskan bacanya ya. 

Kok plagiasi sih, langsung dibajak pun banyak. Buktinya, beberapa hari ini lagi viral gerutuan Tere Liye terhadap pembajak buku. Sampai muncul lontaran pernyataan 'dungu' untuk pembajak buku juga pembaca buku bajakan. Plagiat adalah prilaku. 

Mau instan, tanpa proses? 'ya plagiatlah!.  Apa sanksi plagiat? Bagi akademisi pasti banyak, karena ia terkait dengan karya-karya ilmiah. Bagi penulis fiksi dan catatan harian? Agh masak fiksi dan catatan harian juga diplagiat, ya enggaklah. Kita kan kumpulan orang-orang keren.

Bukankah semakin banyak unggahan tulisan kita, semakin banyak pula karya yang tercipta. Mana tahu ada tim penerbit buku besar sedang blogwalking, tulisan kita yang sudah muncul di media itu konsisten dan dianggap menarik, terus mereka menghubungi kamu, egh aku, agh kita semua. Meminta tulisan yang sudah muncul di media daring dijadikan buku oleh penerbit Mayor, seperti Gramedia misalnya? Nah lo? Keren kan! Atau kamu mau buat buku solo sendiri?

Tahap pertama kumpulkan yang sudah diunggah itu, bukukan. Tak apa. Ga ada yang larang! Kedua, buat lagi tulisan lain sebanyak-banyaknya, bukukan. Setelah melewati proses pertama, bisa jadi yang kedua lebih memuaskan hati.

Nah, bila menuruti penerbit besar sekelas Gramedia, mungkin dengan tak mengunggahnya ke media sosial, tulisan itu benar-benar fresh from the oven. Masyarakat belum pernah membacanya, hingga buku terbit punya nilai jual mumpuni. Kira-kira begitulah logikanya.

Masalahnya, tulisan yang sudah saya unggah itu yang diplagiat orang. Gimana dong?

Sekali lagi ini tentang perkara 'instan'. Mari kita cek dulu tanggal dan waktu, siapa yang unggah duluan, di media apa unggahannya. Agar tak jadi kecewa kemudian hari. Penerbit tak kecewa, penulis tak kecewa, pembaca pun tak kecewa. Mungkin sumber dari cerita itu pernah bercerita pula ke media lain.

Lantas bila sudah ketemu, siapa yang terlebih dahulu mengunggah? Itulah salah satu fungsi kita mengunggah di media sosial. La, kan memang kita yang nulis dan unggahnya. Ngapain khawatir diplagiat. Esok-esok tulisan itu akan menemukan jalannya sendiri. Itulah sebagian kebahagiaan dari tulisan yang diplagiasi. Ada serunya. Semakin semangat untuk menulis lagi. Bisa saja menjadi jalan pahala.

Mau menempuh jalur hukum? Boleh jadi. Mau nempuh jalur pahala, ya buat lagi tulisan lainnya. Bukan berarti saya melegalkan plagiat, ya. Atau kalau kamu sangat kekeuh adukan saja ke Kominfo dengan alamat website aduankonten.id. Berikan bukti-bukti fisik tulisan kamu yang diplagiat. Sekelas Tere Liye, tulisan yang sudah dibukukan saja bisa diplagiat eh dibajak. Alamak!

Jadi jangan berhenti menulis ya, meski di media sosial. O ia, meski diplagiasi itu 'sebagian' dari kebahagiaan bagi penulis, ternyata 'sebagian' lainnya adalah kesedihan. Sedih masih banyak generasi yang literasinya berplagiat ria. Mari terus kita edukasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun