Mohon tunggu...
Azka Ravindra Rahman
Azka Ravindra Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa yang ingin menjadikan platform ini sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan pendapat yang saya miliki tentang berbagai hal, baik itu kondisi sosial masyarakat, teknologi terbaru, atau bahkan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Apakah Tiki-taka Sudah Mati?

17 Oktober 2022   18:52 Diperbarui: 17 Oktober 2022   19:19 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah cara bermain yang indah dengan menjunjung tinggi penguasaan bola terhadap tim lawan, sebuah cara bermain yang membuat pihak oposisi mati langkah dan lengah. Umpan satu-dua, permainan segitiga tiga pemain, memaksimalkan berpikir cepat dan akurat, sebuah gabungan keindahan yang menjadi pertunjukan seni dinamis. Sebuah gaya permainan yang mempesona, mampu menaklukkan tim manapun yang memiliki nyali untuk menantang, namanya adalah "Tiki-Taka". 

Semua ini berawal dari Barcelona di bawah Johan Cruyff dari tahun 1988 sampai 1996. Johan Cruyff, seorang legenda sepakbola yang berasal dari Belanda berhasil memenangkan penghargaan Ballon d'Or sebanyak tiga kali, yakni pada tahun 1971, 1973, dan 1974. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia sepak bola modern dengan julukan Bapak Tiki-Taka. Karena pada masa asuhnya di Barcelona-lah ia menciptakan sebuah gaya bermain yang mengubah cara pandang orang-orang pada sepakbola. Yaitu sebuah gaya bermain yang membutuhkan chemistry yang prima antar pemain, serta menjaga kepemilikan bola dengan cara mengopernya secara konstan, lebih tepatnya mengoper bola dengan kecepatan dan ketepatatan, jadi penguasaan bola adalah yang utama. Gaya permainan ini terus berkembang secara turun temurun di tim sepakbola Barcelona, lalu diadopsi oleh tim La Liga lainnya.

Titik puncak kejayaan tiki-taka ada pada tim pendirinya, yakni Barcelona ketika masih di bawah masa asuhnya Pep Guardiola, salah satu pertandingan yang menjadi highlight puncak kejayaan tiki-taka adalah Final Uefa Champions League tahun 2011, yakni ketika Barcelona melawan Manchester United di tuan rumahnya, yaitu Wembley. Perlu diketahui di pertandingan ini, Manchester United masih berada di bawah masa pelatihan Sir Alex, jadi untuk mengatakan bahwa pada pertandingan ini Barcelona sedang memainkan tiki-taka di level tertinggi bukanlah merupakan suatu pernyataan yang berlebihan. Faktanya, Barca memegang 68% kuasa bola di babak pertama, sekali lagi, perlu diingat yang dilawan Barca disini bukanlah tim ecek-ecek, melainkan Manchester Unitednya Sir Alex Ferguson.

Akan tetapi, semakin hari gaya permainan tiki-taka sangat langka untuk ditemukan di tim-tim besar eropa. Dapat kita ketahui bahwa tim-tim besar saat ini seperti FC Bayern, Real Madrid, Liverpool, Manchester City, dll. masing-masing menerapkan gaya permainan sepakbola modern, seperti counter attack khas Real Madrid, Long Ball khas Jurgen Klopp, dan sebagainya. Mereka sama-sama tidak menerapkan gaya permainan tiki-taka. Lantas, apa yang membuat tiki-taka mati?

Perlu kita ingat bahwa cara bermain tiki-taka bukanlah mudah. Diperlukan individu-individu yang cerdas dan kreatif, serta sinergi antar pemain yang bagus, jadi pembangunan chemistry itu harus sudah dilakukan sejak dini, dan contohnya dapat kita lihat pada tim Barcelona 2011 dimana hampir semua pemainnya merupakan hasil didikan La Masia, yakni akademi Barcelona. Jadi dapat dibilang bahwa tiki-taka merupakan hasil investasi masa lalu, dan mayoritas orang tidak ingin berinvestasi seperti itu karena butuh waktu yang lama untuk mencari komposisi tim yang sempurna.

Maka dari itu, gaya bermain seperti counter attack merupakan taktik andalan untuk menangkal tiki-taka. Ketika tiki-taka mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menguasai bola di lini lawan dengan tekanan yang tinggi, disitulah taktik counter attack digunakan. Salah satu variasi counter attack yang sering digunakan adalah dengan memainkan para midfielder dan defender di lini pertahanan, lalu mengandalkan pemain sayap dan penyerang untuk mencari celah pada sistem permainan tiki-taka. Itulah mengapa akhir-akhir ini seringkali kita lihat bahwa persentase kepemilikan bola bukanlah faktor utama yang menentukan siapa yang menang dalam suatu pertandingan.

Oleh karena itu, kembalinya gaya bermain tiki-taka tergantung pada siapa saja yang berani berinvestasi untuk masa depan serta tentang siapa yang paling lama mempertahankan idealismenya di tengah-tengah tingginya tingkat kreativitas taktik sepakbola di era ini. Namun, untuk sementara ini, tiki-taka sedang mati dan sedang mencari penerus yang mampu menghidupkannya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun