Mohon tunggu...
Azhar Kahfi
Azhar Kahfi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Ancaman Industri Manufaktur Menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

2 November 2015   15:40 Diperbarui: 2 November 2015   15:57 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Akhir tahun 2015 Indonesia akan memasuki era Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yaitu sebuah integrasi ekonomi kawasan di Asia Tenggara. Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat (benefit) yang akan diperoleh dari integrasi diestimasi lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing masing negara dalam kawasan tersebut. MEA 2015 yang akan menjadi tujuan akhir proses integrasi ekonomi regional ASEAN menyebutkan terdapatnya aliran bebas yang terjadi baik di pasar produk maupun di pasar-pasar faktor produksi.

Proses integrasi ini penting dilakukan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia. Selain itu, kerja sama perdagangan kawasan ini diharapkan dapat menjadi peluang bagi negara- negara yang tergabung dalam ASEAN untuk memperluas pasar dan pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kemakmuran dimasing-masing negara. Di sisi lain, ada beberapa kalangan sektor industri mengharapkan adanya penundaan agar industrinya tidak masuk dalam kelompok industri yang diliberalkan. Sektor industri yang menjadi sorotan utama adalah industri manufaktur.

Industri ini terdiri dari beberapa subsektor diantaranya seperti industri besi dan baja, petrokimia, benang dan kain (tekstil), holtikultura, makanan-minuman, alas kaki, elektronik, kabel, serat sintesis, serta mainan. Banyak yang berpendapat bahwa lemahnya daya saing serta produktivitas industri tersebut merupakan ancaman yang serius dan harus segera dicari berbagai alternatif solusinya.

Padahal, jika ditelisik lebih jauh, industri manufaktur merupakan pendorong utama (leading sector) pertumbuhan maupun pembangunan ekonomi di Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur mencapai 20 persen dalam PDB dan merupakan sektor yang paling dinamis dan fluktutatif pertumbuhannya (sekitar 2-5 persen). Dalam kaitannya dengan tenaga kerja, industri manufaktur adalah sektor yang paling besar dalam memberikan lapangan pekerjaan. Sekitar 70 persen tenaga kerja di Indonesia terserap dalam industri ini.

Sebagai leading sector, sektor industri manufaktur juga sangat berpotensi memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah (value added) dan devisa. Sektor ini juga dianggap mampu untuk memberikan kontribusi yang besar dalam proses transformasi kultural bangsa ke arah modernisasi kehidupan masyarakat yang akan menunjang pembentukan daya saing nasional. Ketidaksiapan industri manufaktur jika MEA diberlakukan,dikhawatirkan industri tersebut akan tumbang dan memunculkan Pemutusan Hak Kerja (PHK) secara besar-besaran.

Ketidaksiapan berbagai subsektor dalam industri manufaktur dikeluhkan oleh para pengusaha antara lain dengan alasan bahwa industri dalam negeri menghadapi faktor-faktor eksternal yang kurang mendukung daya saing industrinya tersebut dibandingkan industri sejenis dinegara mitra dagang. Salah satu yang ditekankan adalah kesenjangan fasilitas dan teknologi. Bila hal tersebut tidak setara, maka akan ada dominasi perdagangan oleh negara yang lebih baik fasilitas maupun teknologinya.

Beberapa Alternatif Kebijakan

Pemerintah yang memiliki fungsi sebagai aktor dalam stabilisasi perekonomian dapat memberikan rekomendasi kebijakan agar dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing industri manufaktur. Diperlukan penguatan supply chain (rantai nilai) industri manufaktur agar peningkatan produktivitas industri ini di Jawa Timur meningkatkan daya saing dengan beberapa negara industri utama di ASEAN. Disisi lain, jika peningkatan produktivitas yang belum diikuti dengan peningkatan daya saing hal ini menunjukkan bahwa industri manufaktur sebagian besar masih berorientasi substitusi impor.

Dengan demikian ancaman serius dari MEA 2015 terhadap Indonesia hanya menjadi sasaran pasar dari negara mitra dagang. Maka dari itu, peningkatan produktivitas harus diiringi puladengan peningkatan daya saing. Pengembangan investasi di sektor industri manufaktur masih tergantung pada industri hilir dengan local content yang rendah.

Belum terintegrasinya industri hulu ke hilir dan masih lemahnya keterkaitan antara satu industri dengan industri lainnya merupakan masalah klasik yang terjadi di industri manufaktur. Perlu ada regulasi dan kebijakan yang mendorong peningkatan investasi pada industri hulu. Pengembangan industri manufaktur harus diorientasikan pada sisi hulu sehingga akan lebih memperkuat rantai nilai industri manufaktur dan mengurangi ketergantungan impor.

Pengembangan sub sektor industri terkait dan industri penunjang bagi industri manufaktur prioritas yaitu industri manufaktur yang relatif padat karya. Penguatan hubungan industrial baik antara industri terkait dan industri penunjang maupun antara industri besar dan sedang dan industri mikro dan kecil bisa menjadi salah satu penguat daya saing industri. Beberapa bukti empiris mendukung ini antara lain dari Peetz (2012) dan Kleiner, Leonard, dan Pilarski (1999) menunjukkan bahwa hubungan industrial baik dalam skala mikro maupun makro bisa berdampak terhadap produktivitas dan daya saing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun