Dualisme kepengurusan Partai Golkar tampaknya belum akan berakhir dan akan memasuki babak baru yang lebih rumit. Pasca Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Senin 18 Mei 2015 yang mengambulkan gugatan kubu Munas Bali, langsung disambut dengan pengajuan banding oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), dan kubu Munas Ancol. Secara hukum putusan PTUN dapat memang dapat dilawan dengan pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta.
Seperti prediksi sebelumnya, dimenangkannya kepengurusan Partai Golkar di bawah ARB dalam putusan PTUN tersebut justru akan lebih memperumit status kepengurusan Partai Golkar. Sebab, kubu Agung Laksono diyakini lebih punya posisi kuat untuk melakukan banding: secara substansi sudah menang dalam sidang Mahkamah Partai Golkar (MPG), dan sudah mengantongi SK Menkumham, sementara kubu Ical tidak punya keduanya untuk melakukan banding.
Sangat beralasan jika kubu Agung Laksono merasa didzolimi dalam keputusan tersebut. Dalam hal ini, kepengurusan Munas Ancol melihat adanya kejanggalan dalam amar putusan Majelis Hakim PTUN yang diketuai Teguh Satya Bhakti itu. Perintah pembatalan atas Surat Keputusan (SK) Mekumham bernomor M.HH-01.AH.11.01 tersebut dianggap telah melampaui kewenangan PTUN.
Ketua DPP Golkar hasil Munas Ancol Ace Hasan Syadzily, mengungkapkan lima alasan pengajuan banding terhadap putusan PTUN, diantaranya:
- Bahwa hakim telah memutuskan sesuatu putusan yang melampaui kewenangannya, yaitu menyatakan bahwa hasil Munas Riau 2009 sah untuk memimpin Partai Golkar. Hakim PTUN tidak berwenang menyatakan SK hasil Munas Riau yang berlaku karena sesungguhnya kepengurusan Golkar versi Munas Riau telah demisioner, baik pada Munas Bali maupun Ancol.Hanya MPG dan Pengadilan Negeri yang berwenang. Kewenangan PTUN adalah hanya mengadili SK tanggal 23 maret 2015.
- Bahwa hakim memasukkan pertimbangan soal Pilkada. Padahal tidak ada di antara penggugat dan tergugat yang berbicara soal Pilkada. Jadi hakim melampaui dari apa yang diminta kedua belah pihak.
- Hakim mengesampingkan dan tidak mempertimbangkan penjelasan Prof. Muladi tentang MPG, padahal hakim meminta Ketua Majelis hakim itu hadir di persidangan. Dalam surat ketidakhadiran Muladi yg disampaikan dan dibacakan dalam sidang PTUN Jakarta pada Senin 27 April itu, ditegaskan bahwa putusan MPG bersifat final dan mengikat secara internal, dan tidak benar apabila dinyatakan tidak ada putusan yang diambil MPG. Menurut Muladi, perbedaan pandangan antara 4 hakim harus dibaca sebagai satu kesatuan, karena putusan itu ditandatangani secara kolektif.
- Hakim mengesampingkan UU Partai Politik yang menyatakan putusan MPG adalah final dan mengikat sepanjang menyangkut perselisihan kepengurusan. Pernyataan hakim yang menyebutkan berwenang untuk menerobos prinsip final dan mengikat adalah bertentangan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.Pada Pasal 32 UU tersebut, dinyatakan bahwa putusan dari mahkamah partai final dan mengikat. Hal ini berarti tidak ada upaya hukum lain yang dapat menganulir putusan MPG. MPG adalah badan peradilan yang memiliki kompetensi absolut, otonom, bebas dan merdeka serta mandiri. Karenanya, permohonan dari penggugat yakni kubu ARB, seharusnya ditolak, atau setidaknya tidak bisa diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
- Hakim menyatakan bahwa masih ada perselisihan di antara kubu ARB dan AL di Partai Golkar saat Menkum HAM menerbitkan SK Pengesahan. Padahal dalam hal ini, surat keputusan pejabat tata usaha negara (SK Menkumham) yang diadili oleh hakim bersifat deklaratif, artinyaMenkumham hanya mencatat dan mengumumkan hasil keputusan MPG yang sebenarnya sudah final dan mengikat sepanjang menyangkut perselisihan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, jelas masih ada optimisme bagi kepengurusan kubu Agung Laksono untuk memenangkan banding. Pengajuan banding yang juga akan dilakukan oleh Menkumham selaku tergugat utama dalam perkara itu juga akan memperkuat argumentasi adanya kejanggalan dalam sidang PTUN. Selama banding dijalankan maka maka keputusan PTUN itu tidak bisa diterapkan.
Adalah penting untuk dicermati bahwa, kekisruhan Partai Golkar berawal dari ketidakbecusah ARB dalam memimpin. Ambisi untuk kembali berkuasa ARB, meski tidak punya prestasi, diakali dengan mengatur Munas Bali sedemikian rupa sehingga terjadi aklamasi dan mencegah munculnya calon lain selain dirinya. Munas Bali, dinyatakan tidak demokratis, tidak transparan, tidak sesuai UU Parpol dan AD/ART Partai Gollar. Karenanya, dalam diktum majelis MPG, yakni Djasri Marin dan Andi Matalatta diputuskan Munas Ancol adalah munas yang sah dan berjalan secara demokratis dengan berbagai kesederhanaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H