Sadarkah kita selama ini, seakan-akan kumpulan air yang berada dalam gelas-gelas kecil yang ditaru di atas nampan yang dibawa kesana kesini untuk disugukan pada orang lain dan dinikmatin. Memberikan kesegaran pada orang lain, namun di sisi lain setiap saat memeras diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Entah akan bertahan sampai kapan sumber air ini terus dimanfaatkan orang lain, yang akhirnya tidak akan pernah dinikmatin lagi oleh kita sendiri karena sudah tidak ada lagi yang dapat dinikmatin alias punah.
Ikrar kemerdekaan memang sudah terdengar ketika Ir. Soekarno mendeklarasikannya 68 tahun silam, semangat menggebu-gebu bersemayam dalam sanubari para pejuang masa lalu bertekad untuk keluar dari sebuah lingkarang yang membelenggu kebebasan manusia untuk hidup tanpa kekangan orang lain. Namun na’asnya sampai hari ini apakah kemerdekaan itu benar-benar terwujud ?
Subtansi kemerdekaan belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh republik ini, hanya sedikit yang dapat menikmati kenyamanan yang dihasilkan oleh negara yang konon dikatakan sebagai “Surga Dunia” karena kekayaannya yang melimpah ruah, dan al- hasil ribuan manusia terlantar setiap harinya tidak sedikit pun mencium bau harumnya kekayaan surga tersebut.
Bangkit dan mencoba melawan kolonialisme yang menggerogoti kekayaan tiada batas ini adalah harga mati yang tidak bisa ditawar oleh pemilik negara ini. Menghadirkan kembali semangat yang dulu lama terpendam untuk mewujudkan esensi kemerdekaan yang selama ini dinanti-nanti. Artinya tugas berat ini hanya akan berlaku jika kita sendiri yang menyadarkan diri sendiri untuk bangun dari tidur panjang. Karena terlalu nyaman dinina bobokkan maka tidur panjang ini semakin nyenyak dan lelap.
“Tangi Srekal” adalah ungkapan jawa dimana ketika dalam keadaan tidur memaksakan diri untuk bangun tanpa menghiraukan kenikmatan tidur dan siap untuk bergegas menjalankan hal yang lebih bermanfaat. Perlu difahamkan bahwa untuk menggedor dan menggenjot negara ini agar segera merdeka tidak hanya sekedar “Berimajinasi dan berfantasi”, hal ini tercermin dalam keadaan negara kita yang pada hari ini banyak berceloteh mengikrarkan bahasa-bahasa perjuangan seperti berikut :
“Suara *** Suara Rakyat”
“Katakan TIDAK kepada Korupsi”
“Partainya Wong Cilik”
“Bersih Peduli Tegas”
“Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi, Kalau Bukan Kita Siapa Lagi”.
Pertanyaan besar untuk mereka yang mempunyai jargon-jargon di atas, apakah fungsi mereka benar-benar merepresentasikan rakyat ? apakah mereka benar-benar berbuat dengan ikhlas ? apakah ada tindak lanjut setelahnya ?
Jangan sembarangan mengucap jika tidak dapat melakukan, karena kata-kata yang berbau demikian merupakan janji, dan janji adalah hutang yang harus dibayar. Untuk itu, bangun dan berjuang untuk menuju “Real Indonesia” harus diwujudkan dengan tindakan realistis, nasionalis dan keberpihakan penuh pada rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H