"Tingginya segini, dan kakinya panjang sekali! " Ado berceloteh habis-habisan sambil menaik-naikkan tangannya seperti sedang mengukur sesuatu. Matanya berbinar-binar bagai berlian di antara emas dua ratus karat.
"Tidak bisa kubayangkan, tidak bisa kubayangkan!" Ia mengulang kata-kata itu dua kali, seolah memang Sudah sewajarnya jika deklarasinya itu bukan sekedar bayangan biasa.
***
Sejak malam di mana Ado bicara asal ceplos bak seekor ular yang tak menjaga lidahnya. Keesokan harinya, ketika malam menunjukkan serpihan binar rembulan yang redup. Ia tentu kembali ke dalam kamar pada jam dan keadaan yang sama. Malam getir itu menjadi malam di mana Ado terakhir kalinya terlihat, ia duduk di atas kasur, sama seperti dirimu saat ini, menyalakan lilin, dan menulis di buku yang kamu bawa itu.
"Jadi ke mana sebenarnya si Ado itu?" Tanya Buti dalam suaranya yang sengak.
Aku geming sejenak, seringai di wajahku tampak agak lugu, mulutku menyembulkan gigi runcing yang seperti belati. Aku sedikit berkilah dari apa yang Buti tanyakan, "Kamu tahu apa yang ditulisnya pada malam terakhir itu?" Buti menggelengkan kepalanya lalu sejenak mencondongkan kepalanya ke depan karena penasaran.
"Aku ingin orang-orang juga bisa melihatmu."
Besoknya Buti Alumuna lenyap bak di makan sesuatu. Malam itu tak ada yang menyadari siapa-siapa yang telah membuat sosok Buti menghilang, tentu hanya aku seorang yang melihatnya terakhir kali pada kegelapan di atas kasur yang aromanya benar-benar tidak sedap itu.
"Umi, Buti ke mana? Apa dia juga di panggil orang tuanya?" Tanya salah seorang santri.
Aku hanya menelengkan kepala ke arahnya, "Nanti malam ikut Umi ke kamar, biar Umi ceritakan apa yang terjadi dengan si Buti."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H