Mohon tunggu...
Azizou Hegar Iwayuri
Azizou Hegar Iwayuri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hobi melukis dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aroma Senyum Datuk

8 Juli 2024   14:57 Diperbarui: 8 Juli 2024   18:39 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari panjangnya garis pantai, seolah seluruh semesta akan berakhir di sini. Matahari merona dan sangat serasi dengan bahari laut. Pasir pantai memerah, menimbulkan perasaan lama yang asing. Ketika desir angin membawa kumpulan kerang, terlihat dari pesisir kalau perahu nelayan milik Datuk telah kembali. Terdapat tulisan 'Marita' di badan kapal yang hampir pudar—tersapu waktu. Semuanya terjadi sudah sangat lama. Di tempat sekarang aku berdiri, Memandang burung-burung laut yang terbang ke matahari.

Aroma garam yang di bawa oleh tiupan laut, dan suara gemerincing rantai yang entah datang dari mana. Semuanya memesona ketika ombak berdebam memecah keheningan subuh. Di bibir pantai tampak Datuk yang tengah menyiapkan perahu sekonthing dengan nama 'Marita'. Wajahnya sembap, entah karena menangis atau karena air laut. Pundaknya memerosot membuat tubuhnya tampak sangat kecil. Dari kejauhan, tampak sebuah kapal pukat yang menuju ke pesisir—membelah gelombang ombak. Mentari mulai menyelinap dari siluet Datuk. Semburatnya menghangatkan pandangan saat angin memberikan keteduhan yang tenang.

Kulit Datuk kecokelatan serta tampak sangat kering. Urat-urat tangannya yang menonjol ketika mencengkeram badan kapal, bagai Hercules perkasa yang melawan singa Nemea. Kadang-kadang matanya yang nanar hanya melotot pada satu titik di ujung cakrawala. Saat aku mendekatinya, aku bertanya untuk apa perahu itu. Ia hanya menjawab "untuk melihat samudera," suaranya pelan terbawa getirnya udara.

"Kalau mau melihat, sekarang kita sudah melihatnya!?" tanyaku sembari meraba perahu.

"Ini laut!" suaranya sengau. "Yang mau kulihat itu samudera!"

Sejak kematian istrinya. Marita. Datuk jadi sering melihat lautan. Padahal sebelumnya ia tidak suka ke pantai karena panas yang bertalu-talu membuat sakit kepalanya kambuh. Istri Datuk pernah berkata, jika dirinya mati. Maka lautanlah yang akan mengubur tubuhnya, dan kilauan mentari yang akan mengremasi setiap kulit dan jiwanya. Istrinya sangat mencintai laut, tapi dalam hidupnya belum sekalipun ia merasakan desir ombak dan hangatnya mentari. Ia ingin melihat samudera, tapi hidupnya hanya mengizinkan dia melihat lautan saja.

Lautan seolah mendidih oleh panasnya matahari. Dan burung camar berkitar-kitar di antara pohon kelapa, camar itu terbang hilir mudik dengan sayapnya yang letih. Datuk mengusap keringat yang menumpuk di atas alisnya. Badannya bungkuk dan tampak seperti makhluk kecil yang mencari sarang. Tangannya bertopang pada lambung kapal, dan kadang kuku kusamnya menggurat warna merah cat yang hampir mengelupas. Saat laut sedang tenang, Datuk mendorong kapalnya ke permukaan air. Keringatnya turun membasahi pasir yang menggelap. Kapalnya terombang-ambing di pesisir. Ombak kecil menciptakan buih di bawah kapalnya, Sementara lautan menimbulkan suara yang menggugah hati.

Dari jauh tampak mata Datuk yang berlinang air mata. Suaranya parau dan hanya menyisakan sisa dari luapan yang lama ia pendam. Rambutnya yang jarang, terkibas oleh angin siang hari yang menyengat. Kaki-kaki kecilnya seolah tengah berjingkrak-jingkrak di atas pasir pantai yang merah berma.

"Kita akan hidup, bahkan jika kita mati sekalipun," kata Datuk sembari mengelus perahu—suaranya teredam oleh dua ombak yang bertabrakan. Wajahnya tersenyum manis di bawah teriknya mentari. Panas mentari bergetar, lalu Menjatuhkan seberkas teja pucat. menembus awan yang berarakan di langit biru.

Perahunya mengapung dan segera menjauh dari pantai. Datuk berada di atasnya, tubuhnya tegap penuh wibawa yang menggelora laksana pangeran Monte Cristo yang mencari harta karun. Kapalnya kian menjauh dan siap mengarungi samudera luas. Saat kapal-kapal lain berlalu, kapal Datuk semakin jauh dan hanya menyisakan titik hitam.

Malam hari datang begitu cepat. Lautan sepertinya sedang murka oleh sesuatu. Badai menerjang tak hentinya dan bahkan membalikkan kapal-kapal yang tertelungkup di pasir pantai. Bulan menyembunyikan rupanya di antara awan mendung, dan sayup-sayup terdengar dari kejauhan suara anjing yang mengaing. Malam itu juga aku teringat dengan Datuk. Di tengah badai begini ia sedang apa kira-kira?, bersama Marita-nya yang menemaninya di kegelapan samudera. Aku hanya berdoa sepanjang malam, untuk Datuk, dan untuk Marita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun