Sudah tidak asing bagi kita semua mendengar julukan yang diberikan kepada negara kita, Indonesia sebagai "Raksasa yang Tertidur". Pemberian julukan tersebut tentunya bukan tanpa alasan, tetapi merujuk pada potensi besar yang dimiliki Indonesia, baik dari segi sumber daya alam, jumlah penduduk, maupun letak geografisnya sebagai negara kepulauan yang strategis. Namun, Indonesia dianggap belum memaksimalkan potensi tersebut sehingga diibaratkan sebagai raksasa yang tertidur.
Sebagai negara yang memiliki SDA yang sangat melimpah, keberagaman hayati baik flora maupun fauna, pulau yang membentang luas, letak geografis yang strategis, jumlah penduduk yang sangat banyak, dan beragamnya budaya yang ada tentunya memberikan potensi untuk membuat negara kita sebagai negara maju.
Kita ambil salah satu potensi sebagai contoh yaitu banyaknya jumlah penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang dimiliki Indonesia sebanyak 273,8 Juta (2021) tentunya pendapatan negara baik dari konsumsi masyarakat yang terjadi ataupun pajak yang diberikan masyarakat kepada pemerintah terbilang fantastis. Memiliki penduduk sebanyak 273 juta bukanlah angka yang sedikit, tentunya pendapatan negara akibat konsumsi dan pemasukan pajak akan meningkatkan perekonomian negara. Sedangkan salah satu faktor suatu negara dapat dikatakan negara maju adalah tingkat perekonomiannya.
Belum lagi kekayaan SDA yang dimiliki Indonesia seperti emas, nikel, minyak batu bara dll. Lalu, letak strategis yang membuat Indonesia sebagai jalur perdagangan internasional. Tidak berhenti pada itu saja, keberagaman hayati baik flora maupun fauna yang melimpah membuat Indonesai sangat memungkinkan menjadi salah satu negara yang maju. Pertanyaannya adalah Mengapa Indonesia masih menjadi negara yang berkembang?.
Pemerintah & Masyarakat vs Sistem Dunia
Pemangku kebijakan mana yang tidak ingin negara yang mereka bina terus bertumbuh dan menjadi negara maju. Masyarakat negara mana yang tidak ingin negara yang mereka tempati memiliki pereknomian yang stabil dan terus berkembang dan menjadi negara maju. Jadi tentunya baik itu pemerintah ataupun masyarakat, keduanya bersama ingin merubah negara yang mereka tempati menjadi negara maju. Lalu mengapa negara Indonesia ini tetap menjadi negara berkembang, walaupun sudah memiliki keselarasan yang sama baik dari pemerintah maupun masyarakatnya. Hal tersebut tentunya ada faktor ekstenal lain yang memaksa Indonesia tidak berubah.
Tanpa kita sadari ada sebuah sistem yang mengatur sedemikian rupa agar setiap negara berkembang yang ingin menjadi negara maju dipaksa untuk tidak bisa bertindak. Hal tersebut bertujuan untuk tetap menjaga posisi strategis dan keuntungan para pelaku yang membuat sistem tersebut. Indonesia menjadi salah satu korban akibat dari sistem yang berlaku tersebut. Lalu mengapa sistem tersebut terus dapat berjalan secara bebas, karena para pelaku pembuatan sistem yang sebenarnya merugikan beberapa pihak dan menguntungkan pihaknya dikemas sedimikan rupa dan tampak sebagai sistem yang baik.
Seperti yang dialami Indonesia tentang persoalan nikel, Indonesia pada saat itu mencoba untuk menghentikan ekspor bijih nikel. Pemerintah Indonesia berargumen bahwa kebijakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah di sektor industri dalam negeri dan membantu meningkatkan ekspor produk hilir nikel Indonesia. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong pengembangan industri smelter di dalam negeri. Disisi lain Uni Eropa menolak secara keras kebijakan yang diambil Indonesia, Menurut UE, kebijakan tersebut melanggar peraturan WTO dan merugikan produsen baja UE yang bergantung pada pasokan bijih nikel mentah dari Indonesia. UE berpendapat bahwa batasan ekspor tersebut tidak konsisten dengan kesepakatan perdagangan internasional, yang memberikan hak kepada negara lain untuk membeli dan menggunakan barang dari negara lain.
Akibat dari gugatan tersebut, pada Oktober 2022 kemarin, Indonesia dinyatakan kalah dalam permasalahan kebijakan ekspor nikel ini. Dilihat dari kejadian tersebut, bahwasanya alasan mengapa Uni Eropa menggugat Indonesia adalah karena kebijakan yang Indonesia buat akan merugikan industrinya. Seperti yang diketahui bersama, Uni Eropa merupakan salah satu importir terbesar bijih nikelnya, dan indsutri baja mereka tergantung dari impor bijih nikel dari Indonesia. Jika, Indonesia membatasi ekpor nikel ini, maka otomatis industri mereka akan terdampak dan mengalami kerugian.
Disisi lain Indonesia sendiri berupaya untuk mengembangkan bijih nikelnya dengan memproduksi didalam negeri terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, jika dibandingkan langsung mengimpor secara mentah. Dari apa yang terjadi, bagaimana Indonesia dapat berubah menjadi negara yang maju. Padahal WTO sendiri memiliki tujuan untuk memajukan perekonomian negara anggotanya. Dengan intervensi salah satu anggota yang memiliki pengaruh besar, dapat mempengaruhi suatu kebijakan.
Bukan perihal nikel saja, permasalahan lain yang dialami Indonesia adalah soal CPO (Crude Palm Oil). Isu lingkungan diangkat sebagai dalih untuk menyetop rantai pasokan minyak sawit dari Indonesia kepada Uni Eropa. Padahal Uni Eropa sendiri merupakan salah satu importir terbesar minyak sawit. Jika pasokan minyak sawit diberhentikan, secara tidak langsung permintaan akan turun sedangkan penawaran akan meningkat, dampaknya adalah menurunnya harga minyak sawit nantinya. Hal tersebut tentunya akan merugikan para produsen dan salah satu produsen terbesar minyak sawit adalah Indonesia.