Siang ini agak mendung, kakek Sardi masih menikmati lamunannya. Entah apa yang sedang ia fikirkan, hari-harinya dihabiskan dengan duduk di depan teras rumah. Beberapa tahun terakhir ini penglihatannya memburuk.
Aku rasa kakek Sardi menderita katarak. Tidak ada pengobatan spesial untuk matanya, karena kondisi enkonomi yang tidak memungkinkan. "Dii.. Sardi.. angkat jemurannya, gerimis ini" teriak salah seorang tetangganya, "iya.." kakek Sardi beranjak dari duduknya sembari meraba tembok dan tiang, turun untuk mengangkat jemuran. Angin bertiup begitu kencang membuat baju-baju yang hendak kakek Sardi angkat berterbangan. Salah satu baju putih milik istrinya terjatuh, badannya lekas jongkok lalu tangannya meraba-raba tanah, mencari keberadaan baju yang jatuh. Karena sudah tidak mampu bekerja, kakek Sardi hanya bisa sedikit membantu istrinya seperti mengangkat jemuran. Apalah daya fisik yang lemah serta penglihatan yang buram membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Sebenarnya umurnya tidak seberapa tua, entahlah mungkin memang begitu jalan ceritanya.
Aku teringat ibuku pernah bercerita tentang masa muda kakek Sardi, "nduk..  kamu tahu kakek Sardi itu kan?  Itu dulu sering ngomong kasar, kalo ada ayam yang masuk terasnya atau makan padinya langsung mengumpat, dan umpatannya itu 'matane' _umapatan mata  dalam bahasa jawa_, makanya kamu kalau bicara dijaga ya, ke siapapun itu". Sebenarnya aku juga tidak menganggap itu sebuah karma atau apapun, aku hanya berfikir itu sudah nasibnya. Kemudian sekali lagi ibuku memberi nasehat yang sama dengan orang yang berbeda.
"Terus nduk.. kamu tahu nenek Sumi? Itu dulu juga sering ngumpat ke orang 'matane', makanya sekarang itu punya sakit mata yang aneh". Aku masih berfikir itu adalah sebuat takdir, lalu ibuku bercerita lagi, "itu nduk ada lagi, kamu tahu Samir (orang gila di daerahku) kan? Itu dulu ketika ibunya sedang hamil, bapaknya pernah menusuk pantat hewan secara hidup-hidup". Kali ini aku terkejut "serius buk? Kenapa?". "Iya, karena burung itu sering makan jemuran padinya dan sering ke rumahnya, mungkin dia risih, makanya burung itu dibunuh secara sadis begitu. Tapi lihat ketika anaknya lahir? Si Samir itu. Mungkin itu balasan atas perbuatannya. Makanya jadi orang ndak usah aneh-aneh, jalani hidup yang bener aja". Aku terdiam, mencoba memahami kenapa orang-orang bisa berbuat seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H