"UWIS !!!, NGERI UWIS ORA ? "
" Ngerti mbah " , " terus pie mbah ? " tanya laki -- laki itu
Mbah gempung tetap asik dengan maenannya tanah liat yang sedari tadi ia bentuk bulatan -- bulatan menyerupai bola, sementara laki -- laki tadi tetap menatap sambil menungu reaksi mbah gempung, dan kembali suara kenari mendominasi ruang dan waktu saat keduanya terdiam
****
Mbah gempung mengambil sebagian tanah liat yang tersisa di depannya dan ia serahkan pada laki -- laki tadi dengan tatapan tegas. Laki -- laki tadi menerima dan entah karena bingung atau merasa diperintah mbah, ia mulai meremas remas tanah itu, sesekali dibuatnya bulatan -- bulanan, terus di pilin pilin dan dipotong -- potng serata dembali lagi diremas -- remas.
30 menit sudah mereka terdiam, dan laki -- laki itu akhirnya menyerah, ia bangkit sambil meninggalkan tanah liat yang sama sekali tak berbentuk apapun, dan baru dua langkah ia meninggalkan mbah gembung.
" URUPMU KUI SAKAREPMU !"
Ia berhenti dan menoleh mematung.
" Ya... jalan uripmu kui sakarepmu, jalan kehidupanmu itu terserah kamu menjalaninya, mau kau jalani dengan jongkok, mau jalani dengan berjalan, berlari atau bahkan dengan tiarap sekalipun itu terserah kamu ".
Lanjut mbah gempung, saya sama sekali tak ada urusan dengan kehidupanmu, maka aku tak bisa cerita banyak tentang apa yang harus kau lakukan atas perubahan kehidupanmu. Salah kalau karena saya dipanggil mbah terus saya bisa mengubah kamu jadi lebih bahagia, lebih banyak rezeki atau lebih makmur, sama sekali tidak bisa.
" Lihat.... " mbah gempung menunjukkan tanah yang tadi ditinggalkan laki -- laki itu, tanah itu aja kau biarkan tak berbentuk apapun, kau biarkan menjadi sebuah tanah liat yang tak memiliki niai dalam pikiranmu.