Mohon tunggu...
Azizah putri Ramadhani
Azizah putri Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas

Hai! Aku Azizah biasa dipanggil Eji. Gadis yang baru menginjak usia 20 tahun yang memiliki hobi berbicara di depan umum! Oh ya, saat ini aku juga sudah mulai menyukai kegiatan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ikhtiar Mandi Dua Kali Sehari

28 Desember 2023   11:11 Diperbarui: 28 Desember 2023   11:15 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ikhtiar Mandi Dua Kali Sehari

Sudah menjadi ritual tahunan jika setiap  memasuki ramadhan dan hari raya, umat muslim mengunjungi kampung halaman masing-masing. Karena di momen-momen inilah sebagian besar anggota keluarga yang ada di perantauan, berkesempatan untuk melakukan mudik lebaran. Tak lain halnya dengan keluarga saya. Kampung keluarga ayah terletak di antara lereng bukit di daerah Kabupaten Solok yang dinamakan dengan nagari Koto Laweh, Sungai Lasi. Akses jalan yang sulit, membuat listrik dan air terlambat masuk dibanding dengan daerah-daerah lain. Hal unik inilah yang membuat saya selalu rindu suasana kampung halaman ayah.

Pasar yang semula tidak ada di daerah itu mendadak menjadi ada karena keributan pagi lebaran di rumah nenek sudah mampu menyaingi keributan yang ada di pasar. Bahkan jika dilombakan, maka keributan di rumah neneklah yang menang. Bukan perkara berebut "ayam bungo jua"  masakan  nenek yang paling diminati anak dan cucunya, tetapi perihal siapa yang berkesempatan mandi di kamar mandi tanpa harus bersusah payah mendaki bukit melewati lembah. Meskipun yang diperebutkan hanya air hujan.

Anak nenek ada enam orang ditambah dengan cucu-cucunya yang sudah berjumlah tiga belas orang, sangat tidak cukup jika hanya mengandalkan mandi dengan air hujan yang jumlahnya satu bak saja. Hal ini membuat para cucu-cucu yang sudah remaja, termasuk saya yang merupakan cucu pertama, harus pergi ke luar ke tempat mandi. Sedikit kesal, karena perjalanan menuju tempat mandi tidak bisa dilalui dengan kendaraan. Jarak yang ditempuh memang hanya 30 menit saja, tetapi kita betul-betul disuguhkan dengan jalan setapak yang menanjak lagi terjal. Jika musim hujan, jalanan akan licin. Jika musim panas? Tetap licin juga karena pasir-pasir yang ada di sana memang bertekstur licin dalam keadaan apapun rupanya. Keadaan seperti ini mengharuskan saya untuk tidak menggunakan alas kaki pulang pergi.

Jerih payah dalam mendaki bukit terobati dengan indahnya jejeran pohon-pohon besar di samping kanan dan kiri seolah menyambut kedatangan kita yang sedang berjalan ditengahnya. Ketika sudah sampai di ketinggian, betapa mata kita dimanjakan dengan pemandangan sawah yang bertingkat dan tingkatannya hampir menyerupai gelombang ombak yang ada di lautan.

"Pasti sangat melelahkan jika harus bertani ke sawah setiap hari, berjalan kaki mendaki bukit, sesampai di sawah harus mendaki lagi untuk orang yang sawahnya berada di atas, terlebih lagi berjalan di bawah teriknya matahari saat bulan puasa," ujarku dengan nafas yang terengah-engah.

"Kalian generasi manja, malas bergerak, makanya mudah terserang penyakit. Orang-orang di sini sudah terbiasa, malahan terasa lelah kalau tidak bekerja," balas nenek yang saat itu menemani kami pergi ke tempat mandi.

Jalanan tidak lagi menanjak, tak terasa kami sudah sampai di sawah yang baru saja aku lihat dari atas tadi. Untuk sampai ke tempat mandi yang airnya jernih, kami harus berjalan meniti pematang sawah. Huh, lagi-lagi bertemu dengan jalanan licin yang dipenuhi lumpur-lumpur sawah karena para petani di sana membangun pematang sawah yang baru. Jika badan tidak seimbang, bisa-bisa saya akan terjun bebas ke dalam sawah yang penuh dengan lumpur. Kurang lebih lima menit berjalan, mata saya kembali dimanjakan oleh kolam berukuran sedang dari tanah sekaligus terdapat sumber mata air yang dipenuhi ikan-ikan kecil warna-warni serta rumput yang menyerupai rumput-rumput laut yang menari dengan riang gembira dalam gelembung air-air.

Tanpa menunggu lama, saya segera guyurkan air sejuk yang langsung dari sumber mata air itu ke seluruh badan yang seakan baru balik dari gurun sahara. Begitupun adik-adik saya. Sedangkan nenek, langsung mencuci pakaian di air yang terjun bebas dari pincuran tepi kolam yang terbuat dari bambu.

Setelah semua selesai, kami bersiap untuk pulang ke rumah. Huh, tidak bisa memakai alas kaki. Saya harus merelakan kaki ini mandi sekali lagi dengan lumpur-lumpur pematang sawah. Belum lagi jalan yang menurun ketika akan pergi tadi sekarang menjadi tanjakan yang memaksa peluh keluar lagi padahal baru saja mandi.

doc: Azizah Putri Ramadhani

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun