Mohon tunggu...
Azizah Nc
Azizah Nc Mohon Tunggu... Desainer - Pelajar

Saya mempunyai kemampuan atau keahlian di bidang seni, saya juga memiliki kebiasaan yang sering saya lakukan ini bisa disebut dengan hobi saya yakni, musik, game, menggambar, serta membaca komik. Saya memang hanya pelajar tapi suatu saat nanti saya akan membuat keluarga saya kagum kepada saya dengan apa yang akan saya capai nantinya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik terhadap Memudarnya Nilai Gotong Royong di Masyarakat Perkotaan

31 Oktober 2024   22:30 Diperbarui: 31 Oktober 2024   22:31 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai gotong royong adalah bagian integral dari budaya Indonesia yang diwariskan turun-temurun sebagai cerminan solidaritas sosial. Namun, di tengah perkembangan perkotaan yang pesat, nilai ini semakin memudar. Masyarakat perkotaan sering kali terfokus pada kehidupan individu, di mana kesibukan pekerjaan dan persaingan ekonomi membuat waktu untuk berinteraksi dan membantu sesama semakin terbatas. Banyak kegiatan bersama, seperti kerja bakti, tidak lagi dilaksanakan secara rutin karena rendahnya minat dan partisipasi. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kegiatan gotong royong menurun secara signifikan di daerah perkotaan dalam dua dekade terakhir, sebagai dampak dari modernisasi dan individualisme (BPS, 2024). Kurangnya interaksi sosial ini membuat masyarakat lebih mementingkan diri sendiri dan cenderung mengabaikan kebutuhan sekitar.

Selain itu, teknologi juga berperan dalam mengubah pola gotong royong. Dengan kemudahan akses informasi dan layanan berbasis digital, banyak aktivitas yang sebelumnya membutuhkan kerjasama kini dapat dilakukan secara mandiri. Misalnya, aplikasi berbasis jasa yang memudahkan orang untuk menyelesaikan berbagai keperluan tanpa harus meminta bantuan tetangga atau keluarga. Hal ini turut membentuk pola pikir yang menganggap bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan sendiri tanpa perlu campur tangan orang lain. Akibatnya, hubungan sosial menjadi renggang, dan orang lebih memilih berinteraksi melalui media sosial daripada bertatap muka. Pendekatan ini tidak hanya berdampak pada memudarnya nilai gotong royong, tetapi juga memperlemah empati dan kepedulian terhadap sesama (Kompas.com 2024).

Di sisi lain, upaya mempertahankan nilai gotong royong masih terlihat di beberapa komunitas yang mengadakan kegiatan sosial untuk menggalang kebersamaan. Namun, upaya ini masih kurang efektif dan cenderung sementara. Pemerintah seharusnya berperan aktif dalam menghidupkan kembali semangat gotong royong melalui program-program masyarakat, seperti revitalisasi kegiatan kerja bakti dan pendidikan karakter di sekolah. Program-program ini dapat membantu mengatasi individualisme di kalangan generasi muda dan menumbuhkan rasa kepedulian sosial sejak dini. Langkah ini penting agar generasi berikutnya tidak hanya mengenal gotong royong sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, nilai-nilai ini dapat terus bertahan dan menjadi solusi dalam membangun masyarakat yang harmonis di tengah perubahan zaman yang terus berlangsung (Tempo, 2024).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun