Mohon tunggu...
Azizah Manikandini
Azizah Manikandini Mohon Tunggu... Mahasiswa - PPG Prajabatan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Be bright, be a winner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Ditilik dari Perspektif Ki Hajar Dewantara

19 Januari 2024   09:58 Diperbarui: 19 Januari 2024   09:59 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenonema kekerasan di sekolah tentu bukan hal yang hanya sesekali kali didengar. Seiring perkembangan teknologi, semakin banyak kasus kekerasan di sekolah yang terekspos. Belakangan ini, tercatat bagitu banyak kasus kekerasan yang dialami peserta didik oleh peserta didik dan guru. Sepanjang Januari-Agustus 2023, KPAI mencatat setidaknya 2.355 kasus kekerasan yang terjadi di lingkup sekolah.

Kekerasan yang terjadi di lingkup pendidikan ini mencakup kekerasan verbal, fisik, hingga seksual. Angka yang cukup tinggi bagi pendidikan Indonesia. Sudah sepatutnya kasus-kasus ini menjadi perhatian publik. Mayoritas kekerasan dilakukan oleh peserta didik yang menindas temannya dengan dalih bercanda. Disamping itu, kurangnya pembelaan dan pembinaan dari pihak sekolah menjadi salah satu faktor mengapa kekerasan di sekolah ini masih saja menjamur hingga saat ini.

Berbagai kasus kekerasan jika dianalisis dan dikorelasikan dengan aspek-aspek seperti sistem among, nilai budaya luhur, budi pekerti, kodrat alam, dan konrat zaman dalam kerangka kearifan lokal, humanism, dan demokrasi (Ki Hajar Dewantara), perspektif tersebut memberikan kesempatan untuk memahami bagaimana kearifan lokal berdampak pada kekerasan. Perspektif ini juga mengevaluasi sejauh mana nilai-nilai tradisional dapat dijadikan dasar untuk menentukan solusi.

Sistem among menyorot pada hubungan yang harmonis antarindividu dan masyarakat, kekerasan di sekolah menjadi indikasi adanya gangguan dalam hubungan ini. Pendidikan perlu memasukkan nilai-nilai budaya yang mulia dan budi pekerti ke dalam rutinitas harian peserta didik. Pembangunan karakter yang tangguh melalui pengajaran nilai-nilai seperti etika, tanggung jawab, dan sikap hormat dapat menjadi langkah pencegahan untuk menghindari timbulnya perilaku kekerasan. 

Ditilik dari kodrat alam dan kodrat zaman, generasi saat ini memiliki tantangan yang lebih berat seiring perkembangan zaman. Kodrat alam erat kaitannya dengan “sifat” dan “bentuk”, sementara kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan "irama". Artinya, keseimbangan ini akan membentuk pribadi yang siap menghadapi tantangan, beriringan dengan adanya pertumbuhan karakter yang baik sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya kekerasan di sekolah. Selain itu, penting untuk peserta didik memahami kearifan lokal yang ada untuk tetap mempertahankan identitas kultural peserta didik, sedang aspek demokrasi dapat memberikan ruang untuk peserta didik berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di sekolah. Suasana yang inklusif dan mendukung ini pada akhirnya dapat mengurangi rasa tidak nyaman dan kekerasan di sekolah.

Adanya kekerasan di sekolah yang tidak segera ditangani, tentu mengancam dan menyeleweng dari konsep merdeka belajar yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara memaknai merdeka belajar berupa kebebasan kepada setiap anak untuk mengembangkan potensi dan bakatnya tanpa batasan yang mengikat. Kekerasan dalam sekolah ini memiliki banyak dampak buruk yang menghambat proses merdeka belajar berupa gangguan dalam proses belajar, dan hambatan untuk pengembangan diri peserta didik. Adanya kekerasan ini mencabut kemerdekaan peserta didik untuk belajar dan mengeksplor banyak hal dengan merdeka.

Bagaimanapun, penting adanya kerjasama antara sekolah dan keluarga untuk membentuk pribadi peserta didik yang sesuai dengan karakteristik manusia Indonesia yang lahir, hidup, dan berkembang dalam kebhinekatunggalikaan. Selain itu, penting ditanamkan nilai-nilai pancasila sejak dini dan nilai religius untuk membentuk karakter yang berkualitas. Manusia Indonesia harusnya mampu beradaptasi dan saling menghormati dengan adanya berbagai perbedaan sosial dan budaya. Adanya perbedaan ini harusnya tidak menjadi alasan untuk melakukan kekerasan, sebaliknya, perbedaan ini dapat dijadikan sarana belajar satu sama lain dan menumbuhkan rasa bangga akan keberagaman Indonesia.

Isu kekerasan di sekolah ini harus diatasi mulai dari pribadi setiap peserta didik sejak dini. Baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan kemerdekaan dalam mencari informasi harus diperhatikan dan saling berkolerasi untuk membentuk jiwa yang berkualitas. Kolaborasi yang harmonis antara pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat, kita dapat bersama-sama menghasilkan perubahan yang positif untuk meningkatkan masa depan pendidikan menjadi lebih baik. Seiring berjalannya waktu dengan kolaborasi ini, maka kualitas pendidikan Indonesia akan turut meningkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun