Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi Mengubah Hamparan Celosia Menjadi Kebun Cabai

18 Maret 2021   01:50 Diperbarui: 18 Maret 2021   01:55 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masihkah anda bertahan di era pandemi berkepanjangan ini? Syukurlah kalau anda tetap bersemangat untuk terus berbuat yang terbaik. Tentu saja teriring doa semoga badai segera berlalu. Kembali hidup normal, seperti sedia kala.

Pandemi masih menyisakan banyak cerita. Ada suka, ada duka. Bagaikan naik roller coaster. Kadang berjalan pelan, bahkan nyaris tidak terasa gerakannya. Namun adakalanya kita harus berjalan dengan cepat, semakin cepat dan sangat cepat. 

Awalnya normal-normal saja, namun tiba-tiba kita dipaksa untuk melalui jalan berliku melewati tikungan tajam, bahkan harus mendaki jalan yang tinggi. Dan tiba-tiba kita harus menyusuri jalan curam menukik dan menyeramkan sebelum akhirnya mencapai tujuan.

Awalnya memang tidak mudah. Terutama bagi mereka yang terbiasa hidup dengan kenyamanan. Namun, seiring waktu berjalan, semua orang dituntut tetap survive. Bertahan dan siap berinovasi. Banting setir dan pandai mengambil peluang. Out of the box. Keluar dari zona nyaman. Memantik secercah harap untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Berbagai usaha dan aneka peluang mendulang rupiah mendadak sepi akibat virus tak kasat mata itu. Mulai dari usaha kecil hingga yang lebih besar. Bahkan tempat wisata yang tadinya ramai dikunjungi, mendadak lengang. 

Tuntutan mematuhi protokol kesehatan cukup mempengaruhi kocek pemilik usaha. Sehingga upaya menyulap usaha menjadi sesuatu yang berbeda menjadi sesuatu yang layak dicoba, bahkan bisa menjadi sebuah keniscayaan.

Salah satu contoh adalah taman yang dijadikan lokasi untuk top selfie yang instagramable. Sepinya pengunjung dan kurangnya perawatan akibat pandemi memaksa taman tempat berswafoto disulap menjadi lahan produktif. Apa tidak sayang? Sesaat memang ragu dan sangat disayangkan. Namun kondisi memaksa untuk itu, demi asap dapur agar tetap mengepul.

Pose sebelum dan sesudah Pandemi (Dokpri)
Pose sebelum dan sesudah Pandemi (Dokpri)

Jadilah top selfie yang tadinya penuh dengan bunga celosia atau jengger ayam beraneka warna dan sangat cantik untuk berpose harus dibabat habis dang mengubahnya menjadi tanaman produktif. 

Tanaman cabai menjadi pilihan sebagai penggantinya. Spekulasi tingkat tinggi karena saat itu harga cabai belum semahal saat ini. Harga cabai satu kilogram seharga empat kilogram ayam potong.

Begitulah sebagaimana kita saksikan sebelum pandemi sebuah taman di lereng gunung Merapi menjadi lokasi selfie atau berswafoto. Kini berubah total menjadi kebun cabai. Tentu saja ada berjuta harapan dari empunya lahan akan hasil panen yang lebih baik untuk menopang ekonomi keluarga yang terpuruk akibat pandemi.

Sebagai hamba yang beriman sudah seharusnya kita menimba pelajaran dari kondisi ini. Lautan hikmah yang terbentang luas sudah selayaknya kita petik. Antara lain:

1. Tidak putus asa dari rahmat Allah

Putus asa bukanlah sifat orang yang beriman. Karena menganggap tidak ada lagi harapan baginya. Padahal ada Allah Sang Maha Pengasih.

 "......janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS Az zumar [39]: 53)

2. Allah tidak akan membebani hamba-Nya kecuali menurut kemampuannya

Dalam berbagai ayat, meski dengan redaksi yang berbeda namun sangat jelas bagi kita bahwa Allah sudah mengukur kemampuan kita selaku hamba yang lemah, "......Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan". (QS. At talaq [65]:7)

3. Penuh harap disertai instrospeksi dan wawas diri

Sikap ini mengajarkan kita untuk tidak menimpakan kesalahan kepada orang lain, apalagi kepada Allah. Pantang  berprasangka buruk (su'udhan) kepada Allah meski doa yang setiap saat kita panjatkan belum juga dikabulkan. Berusaha mengevaluasi diri kalau-kalau perjuangan dan doa yang dilakukan belum optimal. Karena Allah mengetahui mana yang terbaik untuk kita.

"......Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (QS Al Baqarah [2]: 216)

4. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan

Keyakinan inilah yang harus selalu kita kobarkan, supaya tetap optimis dan tidak berhenti berharap.  

 "Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan."(QS Al insyirah [94] : 5-6)

Kemudahan yang kita raih tentu saja tidak datang secara cuma-cuma. Setidaknya dibutuhkan tiga syarat untuk mendapatkannya. Pertama, usaha dan kerja keras dari setiap orang yang diterpa kesulitan. Kedua, sabar dan tahan uji dalam mengatasi dan menanggulangi kesulitan itu. Ketiga, penuh harap dan optimistik bahwa kesulitan itu akan segera berlalu.

Mari, bangkit dan bertahan untuk meraih sejuta mimpi. Meski pandemi masih mengintai, namun kobaran semangat itu harus tetap ada. Allahu Akbar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun