Ini bukan tulisan tentang politik. Maklum, kalau bicara politik, pasti tidak lepas dari kritik. Bagi anda yang tulisannya dianggap flat dan biasa-biasa saja, sehingga tidak memantik orang untuk kepo dan bergegas membaca, silakan belokkan sedikit ke tulisan berbau politik.Â
Dijamin langsung laris manis dan basah kuyup kehujanan komentar. Dari komentar yang adem ayem dan kasih  jempol lima, sampai caci maki berasa nasgor cabe sepuluh. Kalau nggak tahan banting, bisa jadi nggak balik lagi. Yang penting nulis, aman dan nyaman.
Ya, mungkin ini self reminder bagi saya atau bisa jadi kita semua. Manusia yang suka mengkritik, tapi tidak siap untuk dikritik. Lebih memilih zona aman, ikut arus, meski belum tentu yang aman itu menjamin adanya kenyamanan.
Cendekiawan muslim dan penulis produktif Ulil Abshar Abdalla, atau akrab disapa Gus Ulil mengatakan bahwa kebahagiaan yang luar biasa bagi penulis adalah ketika tulisannya dibaca dan dinikmati. Kalau bahasa sekarang ya dikomentari. Sehingga tradisi mengapresiasi tulisan oranglain harus terus dihidupkan.
Tampil sebagai salah satu pembicara dalam sebuah acara yang digelar oleh Komunitas Menulis Sahabat Pena Kita (SPK) dengan tajuk Webinar dan Kopdar 6 SPK mengusung tema "Proses Menulis Kreatif dan Produktif", Gus Ulil menyatakan bahwa kemudahan memperoleh akses yang sangat terbuka pada saat ini hendaknya dijadikan mesin pendorong bagi para pembaca untuk tidak segan berkomentar sebagai wujud dari apresiasi terhadap karya orang lain.Â
Dengan demikian, tiap penulis yang sejatinya juga seorang pembaca akan memiliki idola untuk dijadikan kiblat dalam menulis. Hal ini penting, karena penulis akan punya target, ada standar tulisan yang dihasilkan dan pada akhirnya menemukan gayanya dalam menulis.
Menantu Gus Mus ini sempat mengadakan semacam riset yang membandingkan gaya, materi bahkan sampai pada kualitas antara penulis di eranya, tahun 90-an, Gus Ulil menyebut "Generasi Kompas" dengan penulis saat ini.Â
Era digital dan milenial. Menurutnya, tantangan penulis saat ini adalah pada kualitas. Siapa yang dijadikan idola dan model para penulis saat ini? Sudahkah mereka menemukan gayanya? Karena tidak semua penulis mampu menemukan 'suaranya sendiri'.Â
Mendapatkan gaya tulisannya. Di sinilah pentingnya idola, figur penulis yang dijadikan model. Harapannya, berawal  dari meniru, lambat laun dia harus mampu memperoleh gayanya sendiri dalam menulis.