Indonesia adalah tanah surga, katanya. Indonesia adalah negara yang lucu dan menggemaskan. Kita ketahui bersama bahwa negeri ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun, masih banyak rakyat yang tidak 'kecipratan' kekayaan dari negerinya sendiri. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 27,7 Juta jiwa pada periode maret 2017. Ada apa gerangan?
Minimnya IPTEK dan sumber daya manusia berkualitas disinyalir menjadi penyebab hal ini. Ada 3 pertanyaan yang muncul dalam benak. Pertama, mengapa Indonesia tidak meneladani Jepang dalam bidang IPTEK? Jepang pernah jatuh tapi dapat bangkit berkat perkembangan IPTEKnya yang sangat pesat. Kedua, untuk masalah SDM, mengapa negeri ini tidak mencontoh pendidikan Finlandia?
Di Finlandia, tidak ada UN yang membuat siswa stress, sedikit pekerjaan rumah, dan sedikit waktu belajar di sekolah. Pendidkan di Finlandia tidak berfokus pada kuantitas, namun lebih kepada kualitas. Dalam hal pendidikan, Finlandia  benar-benar efektif dan efisien. Ketiga, mengapa negara yang kaya SDA cenderung memiliki pendapatan negara yang minim? Sedangkan, di sisi lain, negara yang miskin SDA memiliki pendapatan negara yang maksimal?
Dalam buku Gun, Germs, and Steel terdapat jawaban yang sangat masuk akal. Penduduk negara yang kaya SDA cenderung sudah sangat nyaman dengan limpahan kekayaan alam yang diberikan oleh Tuhan. Mereka tidak mengkhawatirkan dan merisaukan hari esok, toh semuanya telah tersedia di alam.
Paradigma tersebut membuat mereka lebih 'nyantai' dalam menghadapi hidup ini. Berbeda dengan itu, penduduk negara yang miskin SDA harus berpikir kreatif agar tetap bertahan hidup. Oleh karena itu, mereka menciptakan teknologi-teknologi yang mampu memperkaya negara dan 'mencipratkan' kekayaan ke rakyatnya.
Dari hal-hal tersebut di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Negara Indonesia seharusnya tidak menjadi seperti bocah lucu dan menggemaskan yang enggan meninggalkan zona nyamannya. Indonesia harus segera merubah paradigma berpikirnya menjadi lebih dewasa agar julukan 'tanah surga' tidak disematkan kata 'katanya' di belakangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H