Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Cireundeu berasal dari nama "pohon reundeu", karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. Pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Kampung Adat Cirendeu dan disana saya benar-benar melihat kearifan lokal yang masih dipertahankan.
Salah satu kebudayaan yang masih dipertahankan di Kampung Adat Cirendeu adalah alat music tradisional, yaitu angklung buncis.Bersama Mang Rey (Uncle Rey) kami dijelaskan begaimana cara bermain angklung dan membahas perbedaan angklung buncis dan angklung yang sering kami temui. Angklung buncis yang ada di Kampung Adat Cirendeu adalah sebuah alat musik tradisional yang mempertahankan keaslian nada angklung tradisional. Berbeda dengan angklung modern yang menggunakan skala diatonis (doremipasol), angklung buncis ini mengikuti skala pentatonis dengan nada da mi na ti la. Penting untuk diingat bahwa perbedaan nada ini memberikan ciri khas tersendiri pada musik yang dihasilkan. Angklung tradisional dengan skala pentatonis memiliki nuansa yang khas dan dapat membawa pendengar ke dalam suasana yang mendalam dan bersejarah. Dalam memainkan angklung buncis, posisi tangan menjadi aspek penting. Tangan kiri harus memegang tiang tengah, sementara tangan kanan memegang alas bawah sebelah kanan. Hal ini memastikan bahwa getaran yang dihasilkan akan menghasilkan suara yang sesuai dengan notasi pentatonis tradisional. Sebelum memainkan angklung, ada catatan untuk diperhatikan. Angka yang mungkin terdapat pada angklung tersebut harus diperhatikan dengan baik. Ini bisa menjadi notasi atau instruksi khusus untuk memainkan lagu tertentu. Dengan memahami instruksi ini, pemain angklung dapat memainkan lagu-lagu tradisional yang khas dengan angklung buncis ini. Keseluruhan pengalaman memainkan alat musik ini tidak hanya melibatkan gerakan fisik tangan, tetapi juga pemahaman tentang nada tradisional yang membuatnya unik dan berbeda dari angklung modern.
Selesai mengulik dan memainkan angklung buncis, kami melanjutkan menelusuri kebudayaan yang masih dipertahankan dan menjadi daya tarik Kampung Adat Cirendeu itu sendiri, yaitu pembuatan rasi. Rasi ialah perasan singkong yang dikeringkan sehingga akhirnya bertekstur mirip beras. Di Kampung Adat Cirendeu, singkong telah menjadi makanan pokok sejak tahun 1918, menggantikan nasi yang sebelumnya beras tujuan untuk mencapai kemerdekaan lahir batin. Pemilihan singkong sebagai makanan pokok ini mengandung makna simbolis terkait dengan semangat perjuangan dan kemerdekaan. Sebelum singkong menjadi makanan pokok, penduduk desa ini awalnya mengonsumsi makanan pokok seperti jagung, talas, dan lainnya.Â
Namun, pada tahun 1924, seorang ibu yang bernama Omah Asnanah menemukan alat pengelolaan singkong untuk diolah menjadi makanan pokok. Proses pengelolaan ini melibatkan beberapa tahap, seperti kupas, cuci, parut, peras, ditumbuk, dikeringkan, dan diayak. Kulit singkong yang dihasilkan tidak disia-siakan. Mereka mengolahnya menjadi adedemes yang dicampur dengan tempe sebagai lauk. Kulit singkong juga dikembangkan menjadi dendeng kulit singkong yang memiliki harga cukup tinggi, mencapai 150 ribu rupiah per kilogram. Sisa parutan singkong tidak dibuang begitu saja. Masyarakat setempat menggunakan sisa parutan tersebut untuk membuat tape singkong, yang biasanya disediakan di acara hajatan. Proses pembuatan tape singkong juga menjadi bagian dari tradisi dan kearifan lokal. Ketika musim tanam tiba, diadakan upacara khusus.Â
Begitu pula saat panen, melibatkan toko adat dalam prosesi upacara. Air buangan dari proses pengolahan singkong juga dikelola dengan baik, di mana lapisan pertama dibuang, lapisan kedua digunakan untuk membuat kerupuk, dan lapisan ketiga untuk aci. Jublek, yang merupakan batu penumbuk dalam proses pengolahan singkong, juga memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan tradisi ini. Nama batu penumbuk ini, "jublek", mungkin memiliki makna dan keterkaitan tertentu dengan kehidupan dan budaya masyarakat Kampung Adat Cirendeu.
Kegiatan terakhir yang kami lakukan di Kampung Adat Cirendeu adalah berdiskusi bersama yang ada di Kampung tersebut. Berdiskusi bersama Kang Yayat tentang Kampung Adat Cirendeu menjadi pengalaman yang sangat informatif. Kami mendalami kehidupan sehari-hari masyarakat di sana, termasuk adat istiadat yang berlaku ketika ada pernikahan di Kampung Adat Cirendeu. Diskusi ini mengungkapkan kekayaan budaya dan tradisi yang dijaga dengan baik oleh masyarakat setempat. Salah satu topik menarik yang kami bahas adalah larangan-larangan yang berlaku di Kampung Adat Cirendeu. Kang Yayat menjelaskan bahwa ketika seseorang pergi ke hutan yang ada di Kampung Adat Cirendeu, mereka tidak diperbolehkan memakai alas kaki. Hal ini mengandung nilai-nilai kebersihan dan keharmonisan dengan alam yang sangat dihargai oleh masyarakat setempat.Â
Selain itu, kami juga membahas tentang larangan memakai baju berwarna merah ketika berkunjung ke salah satu tempat di Kampung Adat Cirendeu. Larangan ini mungkin memiliki kaitan dengan kepercayaan atau tradisi tertentu yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Diskusi kami juga melibatkan pembahasan mengenai kepercayaan yang dianut di Kampung Adat Cirendeu, yaitu Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah bentuk kepercayaan tradisional Sunda yang mengakui adanya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan penghormatan terhadap leluhur. Pemahaman tentang kepercayaan ini memberikan wawasan lebih dalam tentang spiritualitas dan pandangan hidup masyarakat di Kampung Adat Cirendeu. Keseluruhan diskusi ini memberikan gambaran komprehensif tentang kehidupan, adat istiadat, larangan-larangan, dan kepercayaan yang melekat kuat dalam budaya Kampung Adat Cirendeu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H