Mohammad Natsir dalam sosok kemanusiaannya telah terintegrasi dalam hidupannya dengan nilai-nilai keislamannya, maka ia menjadikan Islam sebagai sumber ilham tingkah laku dan beliau sangat responsif terhadap perkembangan zaman. Karena itu hampir semua literatur yang berkaitan dengan Mohammad Natsir, perkataan demokrasi dan keadilan sosial dalam hubungannya dengan agama, tidak pernah lepas.
Walaupun Natsir mengambil langkah moderat dalam mengimplementasikan pemikirannya tentang negara yaitu islam sebagai dasar negara, masih banyak yang beranggapan bahwa Natsir ingin mendirikan negara islam dan menolak Pancasila. Perjuangan Mohammad Natsir tersebut kerap mendapatkan pertentangan dari kalangan nasionalis dan non islam, terutama ketika Natsir memperjuangkannya di Konstituante. Hal tersebut berakibat pada terancamnya keselamatan Natsir dan keluarganya sehingga beliau harus menyelamatkan diri ke Sumatera Barat pada akhir 1957. Pada sisi lain, terdapat pandangan yang mengintegrasikan agama ke dalam negara berdasar pada sebuah keyakinan bahwa negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan dalam statusnya sebagai wakil tuhan. Pandangan ini menjadi acuan kelompok fundamentalis Islam yang cenderung beranggapan bahwa islam adalah agama total (kaffah), yakni meliputi segala aspek kehidupan tak terkecuali politik.
Biografi Mohammad Natsir
Muhammad Natsir merupakan seorang politikus sekaligus pendakwah yang begitu membela pancasila dengan mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara pancasila dan Islam. Beliau lahir di kota Jembatan Berukir Panjang yang bersebelahan dengan Lembah Kecamatan Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan bergelar Datuk Sinaro Panjang pada tanggal 17 Juli 1908. M. Natsir mempunyai tiga saudara kandung, yaitu Yukina, Rubiah, dan Yohanusun. Di tanah kelahirannya tersebut, beliau melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. M. Natsir menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua dan mempelajari agama dengan tengku atau alim ulama. Pada saat usia beliau delapan belas tahun (1926), beliau berkeinginan masuk sekolah dasar bumiputera (HIS). Namun, keinginan tersebut tidak berhasil diwujudkan karena beliau anak pegawai rendahan. Lalu untuk mewujudkannya, beliau masuk sekolah partikelir HIS Adabiah di Padang.
Selama 5 bulan pertama di Padang, ia melewati hidup dengan perjuangan berat. Tidak lama setelah itu, beliau dipindahkan ke HIS Pemerintah di Solok oleh ayahnya setelah beberapa bulan sekolah di Padang. Setelah lulus dari pendidikannya di HIS, beliau masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Muhammad Natsir cukup aktif untuk mengikuti organisasi selama berada di MULO. Berawal dari organisasi tersebut, muncullah jiwa pemimpin di dalam dirinya. Beliau melanjutkan kembali pendidikannya ke AMS (Algemenee Middelbare School) Afdelling A di Bandung. Di Bandung inilah beliau memulai sejarah panjang perjuangannya selama berkecimpung di dalam pergerakan Indonesia. Pada tahun 1927, ia pindah ke bandung untuk memperdalam ilmu agama dan kecerdasannya. Sampai pada tahun 1934, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Nur Nahar yang kemudian wanita tersebut menikah dengan beliau pada tanggal 20 Oktober 1934 di Bandung. Dari pernikahan mereka tersebut, beliau mendapatkan gelar Datuk Sinaro Panjang yang diberikan setelah menikah. Mereka dikaruniai enam orang anak. Keenam anak beliau tidak ada satupun yang meneruskan permintaan perjuangan ayahnya.
Beliau aktif belajar agama islam secara mendalam dan berkecimpung dalam gerakan politik, dakwah, dan pendidikan. Di bidang itulah Mohammad Natsir bertemu dengan tokoh Radikal Ahmad Hasan (seorang ulama terkemuka dari organisasi Persatuan Islam) yang memberikan pengaruh besar dalam aliran pemikirannya selama beliau menempuh pendidikan di AMS Bandung. Ahmad Hassan banyak memberikan kontribusi dalam hal pemikiran keislaman sehingga membuat banyak para tokoh mengagumi dan ikut serta bergabung dalam organisasi PERSIS. M. Natsir mulai tertarik pada pergerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda yang anggotanya adalah pelajar bumiputera yang bersekolah di sekolah Belanda. Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual dari Haji Agus Salim. Di usianya yang ke-20, beliau dapat bergaul dengan tokoh-tokoh nasional seperti Hatta, Prawoto Mangun Sasmito, Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto, dan Moh. Reom.
Setelah lulus dari AMS, beliau mengajar di salah satu MULO di Bandung. Pilihan ini merupakan panggilan jiwanya untuk mengajar agama. Karena pada saat itu Sekolah Umum tidak mengajarkan ilmu agama. Kemudian M. Natsir mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (PENDIS) yaitu pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. Beliau menjabat sebagai Direktur PENDIS selama 10 tahun. Lembaga pendidikan tersebut kemudian berkembang di Jawa Barat dan Jakarta. Mohammad Natsir wafat pada 14 Sya'ban 1413 H. bertepatan dengan 6 Februari 1993 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada usia 85 tahun. Setelah M. Natsir mangkat, namanya benar-benar menjadi berita yang layak diberitakan di berbagai media cetak dan elektronik. Namun yang menarik, Mohammad Natsir adalah anak terbaik Indonesia yang berjuang untuk agama dan negara Indonesia.
Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Nasionalisme Indonesia
Mohammad Natsir adalah seorang politikus dan pemikir terkemuka Indonesia yang memainkan peran penting dalam gerakan kemerdekaan negara. Sebagai pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI), ia sangat berkomitmen pada gagasan nasionalisme Indonesia. Bagi Natsir, nasionalisme bukan sekadar soal kemerdekaan dari penjajahan, tapi juga soal membangun bangsa yang kuat dan bersatu. Natsir percaya bahwa nasionalisme Indonesia berakar pada kekayaan warisan budaya negara dan sejarah perjuangan kemerdekaan. Ia memandang perjuangan kemerdekaan sebagai perjuangan identitas dan kedaulatan bangsa, dan berpendapat bahwa membangun rasa persatuan dan tujuan nasional adalah hal yang penting. Natsir berpendapat bahwa nasionalisme Indonesia harus didasarkan pada rasa identitas bersama dan tujuan bersama. Ia berpendapat bahwa keberagaman di negara ini, termasuk banyaknya kelompok etnis dan bahasa, harus dirayakan dan dimanfaatkan untuk membangun bangsa yang kuat dan bersatu.
Dalam pandangannya, nasionalisme Indonesia bukan sekadar soal kemerdekaan dari penjajahan, tapi juga soal membangun bangsa yang kuat dan sejahtera. Ia meyakini bahwa pembangunan ekonomi dan keadilan sosial merupakan komponen penting dalam pembangunan nasional. Natsir juga kritis terhadap intervensi dan pengaruh asing di Indonesia. Ia melihat kekuatan asing berusaha melemahkan kedaulatan negara dan manipulasi politik demi kepentingan mereka sendiri. Ia berpendapat, Indonesia harus waspada dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari ancaman eksternal. Natsir menilai, nasionalisme Indonesia memerlukan rasa patriotisme dan tanggung jawab sipil yang kuat. Ia berpendapat bahwa warga negara mempunyai kewajiban untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berkontribusi terhadap pembangunan bangsa. Dalam tulisannya, Natsir kerap menekankan pentingnya pendidikan dalam memajukan persatuan dan pembangunan bangsa. Ia percaya bahwa pendidikan harus digunakan untuk memajukan nilai-nilai dan cita-cita nasional, serta membekali warga negara dengan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk membangun bangsa yang kuat dan sejahtera. Sepanjang hidupnya, Natsir tetap berkomitmen pada perjuangan nasionalisme Indonesia. Ia melihatnya sebagai komponen penting dalam perjuangan kemerdekaan negara dan upaya membangun bangsa yang kuat dan bersatu. Ide-idenya tentang nasionalisme Indonesia terus mempengaruhi politik dan masyarakat Indonesia hingga saat ini. Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan secara integral, bahkan simbiosis, yaitu saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral. Pengajuan konsep islam sebagai dasar negara ini karena umat islam di indonesia adalah mayoritas, Namun menurut keyakinan ajaran islam mempunyai hukum ketatanegaraan dalam masyarakat dan mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat. Selain itu juga dapat menjamin hidup keragaman atas saling menghargai antara berbagai golongan dalam negara.
Pada kasus Indonesia, modernisasi politik islam adalah sebuah keharusan yang ada. Menurut Natsir, modernisasi politik islam merupakan sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian, sosial,dan politik islam yang terkandung dalam Al-Qur`an. Pada topik politik ini, Natsir mewajibkan setiap umat islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam. Politik sebagai sarana dakwah ini berat aturan main politik harus paralel dengan aturan main dakwah. Berarti juga politik tidak boleh menyesatkan, dan tidak menjungkirbalikkan kebenaran apalagi mengelabui masyarakat. Politik harus jujur, keterbukaan,tanggung jawab serta berani menyatakan kebenaran.
Melalui DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang didirikan pada  26 Februari 1967 inilah, Natsir mengembangkan dakwah islamiyah dengan tiga pilar (masjid, pondok pesantren dan kampus). Perpaduan tiga pilar dakwah ini seharusnya bukan hanya perpaduan fisik, namun juga persepsi, pemikiran dan amaliyah. Perpaduan ini menghasilkan kekuatan yang sangat besar, jika kekuatan ini bersatu, niscaya akan menjadi modal besar bagi pembinaan umat maupun pembangunan bangsa dan negara.
Natsir sebagai ketua DDII juga mengembangkan dakwah dengan menyediakan tenaga khatib dan mugaligh, mengelola penerbitan, percetakan, toko buku Media Dakwah dan lembaga pendidikan serta menerbitkan majalah seperti: Suara Masjid, Buletin Dakwah dan Majalah anak-anak sahabat. Usaha yang ditempuh DDII efektif mempengaruhi terutama kalangan akademisi dan aktivis dalam meyakini jalur dakwah sebagai jawaban rasa frustrasi politik Islam terhadap modernisasi pembangunan rezim militer Soeharto.
Pemikiran Demokrasi menurut Moch. Natsir yakni prinsip-prinsip Islam tentang syura lebih dekat kepada rumusan-rumusan demokrasi modern, dengan meletakkan prinsip-prinsip hudud (batas-batas) dan etik keagamaan sebagai panduan dalam mengambil keputusan. Â Dengan begitu, Natsir berupaya untuk mempertemukan teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan Tuhan. Karena, Â Natsir mengatakan islam itu menganut paham "Theistic Democracy" yakni demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.
Seorang demokrat sejati, kata Mohammad Natsir suatu ketika, harus menghormati pendirian dan pendapat orang lain, sekalipun ia tidak setuju atau bahkan menentangnya.
Sikap, Pola Pergerakan, Dan Bentuk Perjuangan Yang Dilakukan Mohammad Natsir
Mohammad Natsir merupakan orang yang santun, tangguh, dan jujur dalam memberikan pandangannya. Sebagai upayanya untuk mewujudkan gagasan - gagasannya dirinya lebih memilih cara yang moderat dengan tetap menjaga keutuhan NKRI. Dalam kontribusinya untuk Indonesia Mohammad Natsir tidak hanya menyumbangkan gagasannya melainkan juga turut terlibat dalam berbagai pergerakan kiprah Mohammad Natsir dalam membebaskan Tanah Air dari penjajahan dilakukannya  dengan terjun dalam dunia politik, selain dikenal sebagai pemimpin Partai Masyumi Natsir juga pernah bergabung dalam beberapa partai politik, seperti anggota Partai Sarekat Islam (PSI) pada tahun 1930, ketua Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung (1938), Anggota Persatuan Islam (Persis).  Pada masa perjuangan kemerdekaan ia menduduki beberapa jabatan penting, seperti Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Menteri Penerangan, Anggota DPRS dan Perdana Menteri. Bentuk pergerakan dari gagasan nasionalisme Mohammad Natsir semakin terlihat ketika Indonesia berbentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 di Den Haag. Pada waktu itu sebagian besar rakyat Indonesia merasa tidak puas dengan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga banyak daerah - daerah yang ingin melepaskan diri dari negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS). Mohammad Natsir yang pada waktu itu menolak tawaran untuk menjadi Perdana Menteri RIS dari Mohammad Hatta, berusaha melobi negara - negara bagian dari RIS untuk segera membubarkan diri dan bersatu kembali dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan di bawah pimpinan Soekarno - Hatta. Hasilnya Mohammad Natsir banyak mendapat dukungan dari berbagai kelompok, sehingga pada 3 April 1950 di hadapan Sidang Parlemen RIS Mohammad Natsir menyampaikan mosinya untuk bersatu kembali sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mosi tersebut kemudian dikenal dengan "Mosi Integral Natsir". Sebagai hasil dari Sidang tersebut pada 17 Agustus 1950 secara resmi Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan kedaulatan Indonesia kembali pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). sebagai jasanya dalam memulihkan negara Kesatuan RI, pada 20 Agustus 1950 Mohammad Natsir ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia. Dengan dijadikannya Natsir sebagai Perdana Menteri, Ia membentuk suatu kabinet koalisi yang melibatkan unsur non-Muslim dan nasional seperti Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, PSI, dan PIR kabinet ini kemudian dikenal dengan Kabinet Natsir (1950 - 1951). Kabinet Natsir ini memiliki beberapa program, diantaranya:
Mengadakan pemilihan untuk memilih konstituante, Memajukan pada bidang perekonomian, kesehatan, dan bidang kesejahteraan rakyat Menyempurnakan pemerintahan dan militer Menyelesaikan masalah irian barat dan memulihkan keamanan serta ketertiban.
Pada masa pemerintahan Kabinet Natsir sering dipenuhi dengan berbagai masalah besar dengan waktunya yang bersamaan seperti masalah Aceh dan Irian Barat. sehingga pada 21 Maret 1950 Mohammad Natsir mengembalikan mandat serta tugasnya sebagai Perdana Menteri selesai pada 27 April 1950. Sedangkan dalam usaha pergerakan terkait islam, dilakukan oleh Mohammad Natsir ketika terpilih menjadi anggota Konstituante pada pemilihan umum tahun 1955. Menurutnya dengan bergabung dalam Konstituante, ia dapat berkontribusi menyusun suatu UUD baru. Ia juga dipercaya oleh rekan -- rekannya di Partai Masyumi untuk menjadi Ketua Fraksi Masyumi di Konstituante. Dari konstituante ini banyak pihak yang mengharapkan akan lahirnya sebuah UUD baru, sebab UUD Indonesia yang berlaku pada saat itu bersifat sementara. Persidangan mengenai dasar negara dilangsungkan pada 11 November -- 7 Desember 1957 dan 22 April -- 2 Juni 1959. Dalam persidangan tersebut terjadi perdebatan mengenai dasar negara yang secara garis besar terbagi dalam 3 blok ideologi, yaitu pancasila, agama, dan sosial ekonomi. Dalam rangkaian sidang konstituante tersebut Mohammad Natsir merupakan tokoh utama dalam perdebatan yang membagi para anggota konstituante menjadi 2 kelompok, yaitu islam dan pancasila. Di sidang Pleno Konstituante, dia menyampaikan bahwa Indonesia hanya memiliki 2 pilihan alternatif terkait dengan dasar negara, yaitu paham sekularisme atau paham agama. setelah itu natsir menjelaskan bahwa islam akan memelihara yang telah ada dan menumbuhkan yang belum ada dalam pancasila. Kepada para pendukung pancasila natsir mengatakan bahwa sila -- sila yang ada dalam pancasila itu juga terdapat dalam islam sebagai nilai kehidupan dengan substansi yang realistis dan jelas, sehingga dengan menerima islam sebagai dasar negara maka para pendukung ideologi pancasila tidak akan merasa dirugikan. Kepada para pendukung ideologi sosial ekonomi, Natsir mengatakan bahwa dalam islam juga akan dapat menemukan konsep sosial ekonomi yang progresif. Peranan Natsir dalam perdebatan konstituante ini tidak hanya sebagai pemimpin fraksi Masyumi tetapi sekaligus pemimpin kelompok islam di konstituante. Menurut Ahmad Suhelmi menyatakan perjuangan ideologis Masyumi untuk menegakkan negara yang didasarkan pada islam, tidak dapat dipisahkan dari figur Mohammad Natsir. Karena persidangan mengalami kebuntuan pihak Angkatan Darat yang dipimpin oleh A.H Nasution berusaha untuk membujuk Presiden Soekarno dan Kabinet DJuanda kembali pada UUD 1945. Pada 22 April 1959 Presiden Soekarno atas nama pemerintah menyatakan pidato tersebut namun hasilnya tidak berubah semua fraksi kecuali fraksi islam tidak menyetujui. Fraksi - fraksi islam ini meminta agar dalam pembukaan UUD 1945 ditambahkan dengan Piagam Jakarta dan pada Pasal 29 ayat 1 nya diberi amandemen sehingga berbunyi seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta namun hasil dari voting masih tidak berubah. Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang berisi pembubaran Konstituante, diberlakukannya kembali UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Setelah konstituante dibubarkan, Mohammad Natsir tidak lagi menyuarakan dengan lantang pemikirannya dengan menjadikan islam sebagai dasar negara.
Hasil Dari Pola Pergerakan Yang Dilakukan Oleh Mohammad Natsir
Seperti pada penjelasan di sub bab A mengenai biografi dari Mohammad Natsir, beliau merupakan seseorang yang sangat aktif di bidang agama dan politik. Beliau adalah seorang ulama dan tokoh pembaharu sekaligus politisi kenamaan dunia Islam pada abad ke 20 ini. Beberapa bentuk organisasi pergerakan yang beliau bentuk merupakan organisasi yang bersifat keagamaan dan politik, misalnya Masyumi. Namun, meskipun bersifat keagamaan, organisasi-organisasi tersebut mampu membawa pengaruh yang besar bagi pergerakan nasional bangsa Indonesia.
Beliau bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tanggal 21 September 1937. Pada saat Jepang berkuasa, MIAI berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) karena organisasi tersebut dianggap tidak memberikan kontribusi apapun kepada pemerintah Jepang sehingga pada tanggal 7 November 1945, M. Natsir bersama Sukiman dan Mohammad Roem menjadikan Masyumi sebagai partai politik. Dalam perjalanannya sebagai partai politik, Masyumi mengalami banyak konflik baik dari internal Masyumi sendiri maupun dari eksternal Masyumi, khususnya ketika berhubungan dengan partai politik dan Presiden Soekarno. Konflik antara Presiden Soekarno dengan Masyumi kemudian makin memanas dan berlanjut hingga masa Demokrasi Terpimpin. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keluarnya Dekrit tersebut semakin memperkuat dan memperbesar kekuasaan Sukarno di satu pihak, sementara di pihak lain semakin melemahkan posisi dan peran Masyumi sebagai partai politik.
Konflik yang dipermasalahkan oleh Soekarno dan Masyumi adalah terkait dengan perbedaan pandangan antara ideologi dan agama. Kondisi tersebut membuat Mohammad Natsir melawan dan menentang kekuasaan dari pemikiran Soekarno. Natsir merupakan seorang yang yang konsisten dalam pemikirannya tentang ide-ide persatuan bangsa, khususnya mengenai agama. Oleh sebab itu, tidak heran beliau berkonflik dengan Presiden Soekarno yang pada saat itu lebih berpihak pada ideologi komunis. Selain menentang ideologi komunis yang diagung-agungkan oleh Soekarno, Natsir juga menolak usul Soekarno tentang cara penyelesaian masalah Irian Barat. Selain itu, Natsir juga mengingatkan Presiden Sukarno supaya jangan mencampuri urusan pemerintah, dan kalau Soekarno terus-terusan mencampuri kebijaksanaan pemerintah maka perdana menteri bisa menangkapnya. Dari beberapa konflik dan perseteruan tersebut, Soekarno akhirnya memutuskan untuk membubarkan partai Masyumi. Partai Masyumi menanggapi hal tersebut dengan dua cara. Pertama, mereka resmi menyatakan bubar. Kedua, menggugat Soekarno di pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Soekarno terhadap pengadilan.
Selain menentang ideologi yang dianut oleh Soekarno, Masyumi juga pernah melakukan pembentukan kabinet Karya maupun PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera. Pada hal itu, Masyumi terus menerus berusaha untuk menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk menyelamatkan negara. Akibat dari keterlibatannya dI dalam PPRI, beliau sempat dipenjara. Karena pada saat itu, PRRI dianggap mengganggu kedaulatan Negara Indonesia. Diyakini bahwa gerakan tersebut dapat menimbulkan masalah kedepannya apabila dibiarkan oleh Pemerintah Indonesia. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Masyumi tersebut dihargai baik oleh pemerintah pusat sehingga Masyumi semakin mempertegas sikapnya dengan mengeluarkan statemen No. 1125/Sek.PP/1/M.VIII/1958 tertanggal 13 Februari 1958. Â Namun, meskipun begitu, Masyumi tetap kalah sehingga pada akhirnya melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 Tahun 1960, Masyumi diperintahkan untuk dibubarkan atau jika tidak, Masyumi akan dianggap sebagai partai politik terlarang.
Setelah masyumi dibubarkan, perjuangan Mohammad Natsir tidak berhenti sampai disitu saja. Sebelum di masa akhir hayatnya, beliau kerap kali aktif menulis beberapa ceramah dan buku yang bertemakan agama. Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930. Namun, sekolah tersebut ditutup saat jepang berkuasa di Indonesia. Mohammad Natsir adalah seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang dianugerahi gelar kemerdekaan pada 10 November tahun 2008. Pada tanggal 6 Februari 1993, beliau meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Kematiannya terjadi setelah dua tahun kematian istrinya yaitu Nur Nahar yang meninggal pada Juli 1991.
Kesimpulan :
Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh Islam yang turut memberikan kontribusinya dalam nasionalisme Indonesia. Ia dikenal sebagai seorang yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya gagasannya tentang nasionalisme tidak hanya sekedar merdeka dari penjajahan tetapi juga membangun bangsa yang kuat dan bersatu dengan didasarkan pada identitas dan tujuan yang sama, hal ini bisa terjadi apabila masyarakat kritis terhadap intervensi dan pengaruh asing. Sebagai salah satu tokoh islam di Indonesia, Mohammad Natsir juga selalu menegaskan tentang hubungan antara islam dan negara yang berjalan secara integral, menurutnya agama dan negara tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan. Dalam pergerakan nasionalismenya itu ia berperan serta dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui mosinya yang dikenal dengan "Mosi Integral Natsir" selain itu dirinya juga terlibat dalam rumusan mengenai konsep dasar negara dengan menjadi anggota konstituante. Mohammad Natsir juga turut terlibat dalam dunia politik dengan menjadi ketua Partai Masyumi, dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).