sore ini saya membaca sebuah tulisan tentang Siti Nurbaya masa kini (judul asli disamarkan) pada deretan tulisan yang muncul di kompasiana sore ini. tulisan itu secara garis besar mengisahkan tentang Siti Nurbaya yang ada pada novel karya Marah Rusli dengan kisah saudaranya pada masa kini. sengaja nama penulis dan judul tulisan tidak saya sebutkan, karena saya tidak mau menyinggung dan nanti dikira menyerang seseorang. sama sekali tidak ada niatan untuk itu. hanya saja tulisan itu membuat saya terlecut untuk meluruskan sesuatu yang menurut saya sudah ,elemceng dari jalur utama, dan kesalahan ini sudah mendarah daging hingga hampir merubah esensis sejarah dan kisah dalam novel "Siti Nurbaya (Kasih tak Sampai) yang terbit 9 dekade yang lampau.
satu hal yang membuat saya miris dari kisah Siti Nurbaya, bukanlah kisah fiksi itu dalam novel tapi kisah itu ditafsirkan secara berbeda dan sembarangan sehingga masyarakat umum yang belum membaca novel tersebut hingga merasa sok tahu dan menjadikan Siti Nurbaya sebagai sasaran kisah pilu perempuan yang dipaksa menikah oleh orang tuanya. kisah Siti Nurbaya selalu digambarkan negatif dimana Siti Nurbaya "difitnah" dimana tokohnya digambarkan entang nasib perempuan yang selalu tak punya pilihan dan tak berdaya karena kemauan orang tua. Kalau menentang, cap “durhaka” dan tak tahu diri pun akan disematkan dalam dirinya. Itulah nasib perempuan yang tak bisa menentukan nasib dan keinginannya sendiri.
cerita yang diingat dari Siti Nurbaya dimasa kini adalah tokoh yang diceritakan sebagai "korban" kawin paksa, sehingga tokoh tersebut selalu menjadi senjata bagi beberapa orang dengan mengucapkan "emang sekarang zaman Siti Nurbaya". pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang mencatut nama kekasih Samsul Bahri tersebut benar-benar telah membaca novel karya Marah Rusli atau minimal tahu jalan kisah aslinya. saya rasa jika kalimat itu yang diucapkan maka dia belum benar-benar tahu kisah yang menceritakan Datuk Maringgi sebagai pemegang peran antagonis tersebut.
sebenarnya kalau anda atau kita mau jalan-jalan sebentar di internet dengan bertanya pada paman Google, om Yahoo, atau saudara Bing kita bisa tahu sinopsis atau resensi dari kisah itu. kenapa? karena novel yang pernah di gubah dalam bentuk film ini yang tokoh-tokoh utamanya diperankan dengan sangat apik oleh aktor dan aktris berbakat seperti Novia Kolopaking sebagai Siti Nurbaya, Gusti Randa sebagai Samsul Bahri dan H. Damsik sebagai Datuk Maringgi, tentu kita tidak akan salah tafsir karena mungkin sudah ratusan tulisan yang membahas tentang novel yang sudah di cetak 11 kali di malaysia dan juga menjadi rujukan wajib untuk mahasiswa fakultas sastra di negara yang sama.
sebenarnya Siti Nurbaya bukanlah tokoh "pasrah" atau dikonotasikan negatif oleh penulisnya, tapi digambarkan sebagai tokoh wanita dan anak yang tegar dan berbakti kepada orang tua, bukan karena dirinya mau dipaksa menikah tapi karena Siti Nurbaya sendiri yang rela untuk dinikahkan dengan Datuk Maringgi walau ayahnya Baginda Sulaiman menolak menjadikan anaknya menjadi sarana bayar hutang. jadi kasus bahwa Siti Nurbaya dipaksa menikah demi bayar hutang sama sekali salah, karena saya tegaskan lagi bahwa ayahnya justru menolak tapi Siti sendiri yang rela "menyerahkan diri" demi menyelamatkan orangtuanya dari ancaman penjara.
sedikit saya kisahkan sinopsis pendek dari kisah tersebut ( sinopsis tersebut saya ambil dari sini )
Sutan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk disekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berprilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal seorang Saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. “Aku sesungguhnya tidak senang melihat perniagan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun dating menagih janji.