Mohon tunggu...
Aziz Abdul Ngashim
Aziz Abdul Ngashim Mohon Tunggu... Administrasi - pembaca tanda dan angka

suka dunia jurnalistik, sosial media strategy, kampanye media sosial, internet marketing. sisanya nulis buat enjoy aja. smile

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kata-kata Malam

9 Desember 2010   15:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:52 17851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

biarlah kata-kata yang menemaniku setiap malam hingga pagi buta menjelang. bersama setan-setan jalang menghentak setiap nurani orang-orang yang katanya beriman itu. bertanya kenapa anda hidup dan untuk apa hidup bagai buir yang menjadi batas imajiner debur ombak dengan pantai. buih yang mengisi lobang-lobang karang yang diterpa gelombang. masihkah nurani bertahan diantara sisa-sisa debur kehidupan yang tak bertuan. adakah hal bertanya tentang maknawi jiwa-jiwa yang terluka.

biarlah kata yang menemaniku membelah setiap luka yang tak pernah ada. kututup kutambal dengan kata yang terjuntai nurani kata tanpa suara. mendekatlah kini sayang, dimana kau berada. adakah kau berada dalam pelukan keabadian maut yang mengancam, ataukah dalam pantauan izrail yang rama, ataukah izrail tampak garang dihadapanmu. rindukan izrail seperti merindukan kedatang kekasih menyapa setiap menjelang tidur.

mari sentuh tanganku karena kata tak pernah bicara. atas nama pengkhianatan dan kesetiaan. karena sesungguhnya pengkhianatan terbesar dan kesetiaan paling hakiki adalah sebuah kebranian. kita yang setia sesungguhnya adalah sebuah keberanian untuk mengkhianati perasaan kita sendiri demi kepercayaan orang lain.  dan kita yang berkhianat sesungguhnya adalah para pemberani untuk mengkhianatai sebuah kepercayaan demi egisme pribadi.

malam yang mengancam dengan kata-kata yang tajam, menghujam. angkat tangan kita katakan tidak pada ketidakadilan. kenapa dia bisa makan sedangkan banyak yang kelaparan. katakan dengan diam dikala lidah kelu dan biarkan kata terangkai dengan kaku, merambah dunia yang rindu, rindu pada kelmbu, yang menutup hati dari debu. kelambu kusam yang kian menghitam.

aku rindu melihatmu tersenyum seperti kerinduanku meluhatmu menangis, bersyukurlah kau masih bisa menampakan emosimu. karena aku lupa bagaimana cara menangis dan tertwa. rindu bagaimana kita bercengkrama dalam tama, saling menjaga bahu ditengah luka. kini dimana dirimu, tak ada lagi kau disampingku. hanya ada kata-kata malam yang menemani dingin malam yang bisu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun