Mohon tunggu...
Aziz Abdul Ngashim
Aziz Abdul Ngashim Mohon Tunggu... Administrasi - pembaca tanda dan angka

suka dunia jurnalistik, sosial media strategy, kampanye media sosial, internet marketing. sisanya nulis buat enjoy aja. smile

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Humor yang Penuh Derita

30 Agustus 2010   03:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:36 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada Negara di muka bumi ini yang menjadikan kekerasan dan penderitaan orang lain adalah tontonan mengasikan dan bahkan salah satu sumber kebahagiaan, mungkin Indonesia adalah salah satu diantaranya yang berada di barisan paling depan.

Saya tidak tahu, bagaimana pilunya arwah Hardjodipoero dan Drs Raden Panji Purnomo Tedjokusumo mereka berdua di jaman Revolusi dulu sering duet di corong RRI sebagai Mang Cepot dan Mang Udel, menyaksikan tontonan humor yang biadab penuh kekerasan (baik fisik maupun verbal), penghinaan, serta pelecehan terhdap profesi dan kondisi fisik adalah suatu hal yang menarik yang dapat membuat kebanyakan orang Indonesia tertawa lepas dan menikmatinya.

Humor seperti halnya bentuk seni, penerimaan tergantung pada demografi sosial dan berbeda dari orang ke orang. Sepanjang sejarah, komedi telah digunakan sebagai bentuk hiburan di seluruh dunia, baik di pengadilan raja Barat atau desa-desa di Timur Jauh. Kedua etiket sosial dan kecerdasan tertentu dapat ditampilkan melalui bentuk-bentuk kecerdasan dan sarkasme. Abad kedelapan belas penulis Jerman Georg Lichtenberg mengatakan bahwa “semakin banyak yang anda tahu tentang humor, semakin anda menjadi menuntut kebaikan.”  Itulah kenapa pelaku humor (bukan sekedar pelawak) banyak dianggap orang cerdas karena mampu menjungkirbalikan logika.

Istilah “komedi” dan “sindiran” menjadi sinonim setelah puisi Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di abad pertengahan dunia Islam, di mana diuraikan di atas oleh penulis Arab dan filsuf Islam seperti Abu Bischr, muridnya Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Averroes . Karena perbedaan budaya, mereka memisahkan diri dari bahasa Yunani, setelah terjemahan Latin abad ke-12, istilah “komedi” memperoleh makna semantik baru dalam literatur Abad Pertengahan.

panjang masa sejarah dunia lawak indonesia bisa dilihat dari gaya panggung, seperti ludruk yang menjelma menjadi hiburan rakyat yang sangat digemari kalangan bawah. model-model seperti ludruk inilah yang berkembang dihampir semua daerah dan kepulauan di indonesia, yang disamping memiliki seni berupa tari dan musik selalu memiliki tontonan panggung berupa humor. hal itu bertahan hingga masa-masa kerajaan di indonesia berakhir. periode-periode selanjutnya banya "digarap" oleh pelawak-pelawak radio yang lebih banyak bermain kata dan memutarbalikan logika hingga lawakan-lawakannya cerdas dan menghibur serta jauh dari celaan dan hinaan yang cendrung kasar dan rasis.

sungguh berbeda dengan pelawak dan dunia lawak Indonesia kini, gaya melawak sekarang (pelawak yang kini membanjiri layar televisi) sungguh tidak membuat lawakan itu sebagai bahan renungan dan alat kritik yang bisa membuat orang reflektif terhadap kehidupannya, gaya lawakan mereka adalah lawakan yang bercanda, menyakiti (baik hati dan fisik) lawan main, lawakan “kebun binatang” dan kemudian tidak memberikan humor-humor cerdas. Ditambah pengaruh gaya yang di tiap detik kata-katanya adalah menghina orang, merendahkan lawan main, dan menangkis kata-kata dengan mencela fisik. Ini sungguh memprihatinkan. Dan ironisnya gaya lawakan yang tidak sesuai dengan tipe mereka disuruh minggir.

Sementara gaya lawakan yang spontan, membuat orang merenung dan menyikapi kondisi sosial dengan gayanya yang cerdas sama, belum muncul. kita ingat bagaimana Krisbiantoro mampu melawak dalam bahasa Perancis, ataupun Ebet Kadarusman yang melawak berjam-jam di radio Australia dengan bahasa Inggris, Sukarno yang membuat orang terpingkal-pingkal di dalam pidatonya, Churchill yang santai dan sempat membuat anekdot sebelum mendeklarasikan perang dengan Jerman ataupun Gus Dur yang mampu menyembunyikan kesulitan-kesulitannya dalam memecahkan problem-problem sosial-keagamaannya dengan melucu, spontanitas yang cerdas, masih menjadi impian dalam dunia lawak kita yang sedang hancur lebur ini. (anton djakarta.blogspot.com)

Namun sekarang kita –hanya- bisa saksikan semua kelucuan yang dibuat  haruslah menyengsarakan orang, yang lebih menarik ini bukan hanya terjadi  di acara yang notabene temanya adalah komedi, baik acara kuis, musik bahkan acara yang menemani kaum muslim sahur dibulan ramadhan harus pakai “properti yang tidak berbahaya” untuk dapat rating tinggi maka sejahteralah komedian kita yang memang spesialis untuk dikerjain bahkan di gebukin. Semoga bangsa kita tidak termasuk bangsa yang  baru merasa terhibur jika melihat orang lain menderita, jika penderitaan yang bisa membuat kita bahagia, mungkin bangsa ini akan bahagia  sampai penderitaan itu habis di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun