Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sebuah Perspektif tentang Puasa dan Wajah Demokrasi Kita

14 Maret 2024   18:08 Diperbarui: 15 Maret 2024   18:15 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puasa Ramadhan kali ini, 1445 H, berada di tengah-tengah suasana perpolitikan demokrasi nasional, setidak-tidaknya pasca pencoblosan pada 14 Februari 2024 lalu dilanjut dengan proses perhitungan dan rekapitulasi suara berjenjang pada tingkat kecamatan se-Indonesia maupun melalui SIREKAP (Sistem Rekapitulasi).

Konon semenjak awal pencoblosan hingga kini dihantui terus dengan pelbagai problem, mulai dari serangan hacker yang berujung down hingga pada pelbagai issu dan dugaan terkait pengelembungan suara dan seterusnya. 

Selain itu, bangsa Indonesia sebentar lagi kembali melakukan hajatan demokrasi, yakni pelaksanaan Pilkada serentak yang jadwalnya direncanakan berlangsung pada bulan November 2024.

Sehingga, boleh dikatakan bahwa puasa Ramadhan kali ini memang berada dalam suasana perpolitikan demokrasi nasional yang tengah panas-panasnya. 

Bukan saja karena pesta demokrasi kali ini masih menyisakan banyak problem dan teka-teki, akan tetapi juga karena beberapa issu yang bermunculan mewarnai jadwal pelaksanaan Pilkada serentak. 

Pasalnya selain bermunculan calon-calon nepotisme dan oligarki dalam bursa Pilkada, juga terdapat desak-desuk politik agar kiranya Pilkada serentak dapat dipercepat dengan alasan yang tidak logis dan mendasar sama sekali. Di antara alasan yang dikemukakan adalah karena beberapa daerah sekarang dipimpin oleh kepemimpinan non defenitif dari Pelaksana Tugas (PLT).

Meskipun demikian, puasa dan demokrasi merupakan dua hal yang berbeda. Puasa adalah wilayah agama; ia merupakan sebuah aktus dan ritual yang bersifat private dalam wilayah keagamaan. 

Sementara demokrasi adalah wilayah Negara; ia sebagai sistem yang digunakan dalam menyelenggarakan sebuah pemerintahan dan kekuasaan politik melalui berbagai tahapan dan mekanisme untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam berbagai manifestasi kerja-kerja politik kebangsaan dan kenegaraan. 

Namun, keduanya memiliki sisi-sisi tertentu yang menarik untuk diungkapkan. Setidaknya, puasa dan demokrasi adalah sama-sama sebuah "sistem" yang hadir untuk mencetak manusia sesuai dengan grand mission masing-masing.

Puasa adalah "sistem agama" (untuk tidak mengatakan sebagai "sistem langit" agar tidak terjadi gap yang tidak perlu) yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muttaqin, manusia yang memiliki standar spiritualitas dan moralitas yang kuat sehingga bisa adaptif bahkan survival dengan berbagai tantangan dan dinamika kehidupan. 

Tipologi manusia-manusia demikian yang dibutuhkan oleh dunia yang kian semrawut ini. Tentu, manusia-manusia muttaqin bukan manusia nir ilmu dan rasionalitas, tetapi manusia yang memiliki ilmu dan rasionalitas keagamaan yang kuat. Dengan ilmu dan rasionalitas keagamaan tersebut mereka membangun piramida ketaatan, baik yang bertalian dengan ketaatan vertikal transendental maupun ketaatan sosial horizontal.

Sementara demokrasi adalah "sistem (ber)negara" yang bertujuan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa (pada setiap level dan tingkatannya) yang berkompeten melalui tahapan dan mekanisme pemilihan. 

Selain itu, sistem demokrasi bertujuan untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera dan makmur dengan mengedepankan nilai dan prinsip kejujuran, keadilan, kesetaraan dan keterbukaan. 

Sehingga, manusia-manusia yang terlahir dan atau dilahirkan melalui sistem demokrasi adalah manusia-manusia yang memiliki standar nilai kejujuran, keadilan, kesetaraan dan keterbukaan yang tinggi dalam melakukan kerja-kerja politik untuk membangun tatanan kehidupan yang adil, sejahtera dan makmur.

Keduanya memiliki time (waktu) dan sejarah masing-masing. Keduanya hadir dalam settingan sejarah untuk kepentingan umat manusia itu sendiri. 

Puasa dilaksanakan dalam setiap tahun, tepatnya pada setiap bulan Ramadhan dalam hitungan kalender hijriah. Ia dilaksanakan selama satu bulan penuh. Ia bukan saja menjadi identitas inhern agama tertentu, tetapi menjadi identitas semua agama. Sebab, narasi tentang puasa memiliki akar dan jejak historis pada setiap agama. 

Semua agama mengenal dan menjadikannya sebagai ajaran. Dalam teks bahasa al-Qur'an disebut dengan "kam kutiba 'alallana ming qablikum", bahwa puasa yang diwajibkan atas umat Islam juga dilakukan oleh umat terdahulu sesuai dengan format dan mekanismenya masing-masing.

Begitu halnya dengan demokrasi, ia merupakan sebuah sistem yang lahir dan berkembang dari negara yang nun jauh di sana, Athena Yunani namanya. Dalam sejarahnya, demokrasi lahir sebagai wujud perlawanan dan atau "antitesa" terhadap sistem pemerintahan otoriterianisme dan diktatorianisme. 

Dalam perkembangannya terdapat banyak negara yang "meratifikasi" demokrasi menjadi bagian dari sistem negaranya, di antaranya adalah negara Indonesia. 

Keberterimaan beberapa negara terhadap sistem demokrasi karena diandaikan demokrasi sebagai sebuah sistem yang menjanjikan masa depan peradaban bangsa dan umat manusia. Di sana, nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, keadilan, kesetaraan dan keterbukaan akan terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia, aksistensi keberadaan sistem demokrasi sebagai sebuah sistem dalam berindonesiaan bisa dirunut semenjak tahun 1945 hingga dengan sekarang ini. Corak demokrasi cukup banyak mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin hingga demokrasi Pancasila. 

Dalam tataran prakteknya, demokrasi dilaksanakan perlima tahun sekali dalam satu periode. Seperti pesta demokrasi yang barusan dilaksanakan secara serentak pada 14 Februari 2024 lalu, antara Pileg (dengan pelbagai tingkatannya mulai dari pemilihan anggota DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD RI) hingga Pilpres yang menghadirkan tiga Capres-cawapres berkompetisi merebutkan RI 1 dan RI 2.

Sama dengan puasa, demokrasi pun juga mendapat "legacy dan afirmasi positif" menjadi bagian dari sistem yang diterima secara umum oleh banyak kalangan dan tataran Negara-Bangsa (nation state) sekalipun. 

Bahkan kalangan intelektual dan ulama hingga Negara muslim juga mengafirmasinya menjadi sebuah "sistem baru" dalam menyelenggarakan Negara.  Sehingga, "sistem demokrasi" bisa menjadi bagian dari produk "syarru man qablana" sekaligus bagian dari maslahat dalam konteks yang lain. 

Meski tidak ada teks bahasa agama yang sharih menegaskannya sebagaimana halnya puasa. Namun, teks bahasa al-Qur'an (juga hadis) memperkenalkannya dengan term "misyawarah" dan beserta prinsip-prinsip penting di dalamnya.

Itulah narasi lain seputar relasi sistem demokrasi dengan agama. Karenanya, tidak perlu dipertentangkan dengan berbagai logika dan dalih. Sebab, sekarang kita hidup dalam alam demokrasi. 

Kita harus realistis, rasional dan proporsional! Meskipun, sangat boleh saja orang memilih jalan lain untuk mempertentangkan dan menolak sistem demokrasi. 

Ya, dalam sistem demokrasi, pandangan dan sikap semacam itu merupakan sesuatu yang lumrah ditemukan. Semua orang diberikan ruang untuk mengekspresikan pandangan dan sikapnya. Termasuk mengekspresikan pandangan dan sikap dalam penetapan hari raya keagamaan dalam setiap tahun yang berujung pada perbedaan antar ormas bahkan dengan pemerintah sekalipun.

Menengok Wajah Demokrasi Kita

Bangsa Indonesia telah lama menerima dan menjadikan demokrasi sebagai bagian dari sistem pemerintahan. Usianya terbilang cukup tua. Baru-baru ini bangsa Indonesia untuk kesekian kalinya kembali melaksanakan hajatan dan perhelatan demokrasi perlima tahun sekali. 

Tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024. Tahapan pesta demokrasi untuk sementara masih dalam proses rekapitulasi oleh KPU RI. Rencananya tanggal 20 Maret 2024 akan diumumkan secara resmi siapa Capres-cawapres yang memenangkan pertarungan Pilpres dan siapa pula wakil rakyat yang akan lolos menduduki kursi DPRD Kota/Kabupaten, DPR Provinsi, DPR RI dan DPD RI. Selain berbagai dinamika, hiruk-pikuk yang terjadi dan berkembang di dalamnya.

Olehnya, publik Indonesia sudah cukup memiliki data dan referensi dalam membaca dan menilai wajah demokrasi kita sebenarnya. Apakah wajah demokrasi kita kian maju dan beradab atau malah mengalami degradasi karena ada permainan kekuasaan oleh bandit-bandit oligarki dan politik dinasti? 

Jujur saja, seperti dikatakan banyak pakar dan pengamat, wajah demokrasi kita kian mengalami kemunduran bahkan cenderung hancur berkeping-keping. Wajah demokrasi yang terlihat pada Pemilu kali ini jauh lebih buruk, brutal dan brengsek dalam sejarah (perdemokrasian) kita. 

Begitulah di antaranya kata seorang Jusuf Kalla, Mahfud MD, Deddy Sitorus, Romahurmuziy, Luluk Nur Hamidah Eep Saifullah Fatah, Rudy S. Kamri, Kahar Sijaya dll.

Tentunya, pandangan demikian tidak mengudara begitu saja dari ruang hampa. Pun pandangan demikian bukan muntahan nalar phobia dan sentimen-spekulatif terhadap sistem demokrasi wabikhusus rezim Jokowi karena soal menang dan kalah dalam kontestasi Pemilu 2024. 

Akan tetapi, pandangan demikian merupakan konstruksi terhadap fakta politik yang terjadi dalam perhelatan demokrasi kita baru-baru ini (dan maupun sebelum-sebelumnya). Di mana fakta-fakta politik yang terjadi terbilang dipertontonkan secara telanjang dan vulgar, seolah-olah telah hilang "rasa malu" dalam berdemokrasi; berbangsa dan bernegara. Sehingga, mereka tidak sungkan-sungkan untuk merongrong sendi-sendi demokrasi.

Di antara fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pakar dan pengamat terkait dengan wajah demokrasi kita adalah hasrat dan syahwat menggurita ingin memperpanjang masa kekuasaan politiknya, baik dengan menambah periode kekuasaan politik dengan tiga periode maupun memperpanjang jabatan karena visi-misi dan programnya banyak yang belum terealisasi semua. Implikasinya, harus melakukan amandemen terhadap konstitusi kita, UUD 1945. 

Sebenarnya tidak apa-apa jika kembali dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Persoalannya adalah motif dibalik amandemen UUD 1945 hanya semata untuk syahwat dan kepentingan politik sekelompok orang yang takut akan berakhir masa kekuasaan politiknya.

Rupa-rupanya, syahwat dan hasrat politik kekuasaan temporar semacam itu ditolak mentah-mentah oleh banyak partai dan politisi. Sehingga, Issu seputar itu sempat raib begitu saja dalam percaturan politik. 

Namun, tidak untuk muslihat. Jika satu stratak tidak terpenuhi, maka masih tersedia banyak lagi muslihat dan manuver. Jika tidak bisa memperpanjang masa kekuasaan politiknya dengan tetap menjadikannya sebagai orang 01 dan terus memberikan pengaruhnya terhadap semesta Indonesia, maka bisa ditempuh dengan memberikan "pengaruh"  kepada mereka-mereka yang dapat dijadikan sebagai "boneka kekuasaan-politik". Dari sanalah lahir dan berkembang lah strategi baru bernama "politik dinasti" or "politik nepotisme".

Di situlah titik perjumpaan antara abuse of power yang dimainkan oleh rezim sontoloyo dengan kerja-kerja bandit-bandit oligarki, lembaga peradilan dan lembaga survei. Akhirnya, politik dinasti dan nepotisme mendapat "karpet merah" untuk ikut mengambil bagian dalam perhelatan pesta demokrasi. Berbagai cara dan manuver pun dimainkan. 

Maka, lahirlah apa yang dinamakan sebagai politik cawe-cawe dilanjutkan dengan putusan MK90 yang berujung Ketua MK, Anwar Usman, harus berurusan dengan MKMK hingga berujung mendapat sanksi pelanggaran kode etik berat sehingga diberhentikan dari Ketua MK plus tidak boleh ikut terlibat dalam sidang perkara sengketa Pemilu 2024. Meskipun, sekarang dirinya sudah kembali lagi ke MK.

Dari putusan MK90 itu kemudian melahirkan problem, anomali dan prahara baru dalam jagat perpolitikan demokrasi kita, yaitu sanksi pelanggaran kode etik yang dialamatkan kepada Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, beserta anggota-anggotanya yang diputuskan oleh DKPP. Apa lacur? 

Pasalnya, KPU RI menerima berkas pendaftaran Capres-cawapres Prabowo-Gibran sebagai Capres-Cawapres yang sah dan siap berlaga dalam kontestasi Pemilu 2024 sebelum melakukan merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. 

Sebab, pendaftaran Gibran seharusnya tidak diterima karena aturan di PKPU Nomor 19/2023 masih mengatur syarat calon berusia minimal 40 tahun.

Apakah hanya sampai di situ saja wajah demokrasi kita diobok-obok? Tidak. Masih banyak lagi seabrek cara dan manuver lainnya yang dimainkan, lagi-lagi, dengan pongah, telanjang dan vulgar. 

Fakta-fakta lainnya yang dikemukakan oleh pakar dan pengamat juga menjadi berita yang tersebar luas adalah penggerakan instrumen kekuasaan politik secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM). 

Seperti penggelontoran BLT dan Bansos secara besar-besaran hingga menghabiskan anggaran sebesar lima ratusan triliun, sesuatu yang berbeda sama sekali dengan kondisi elnino pada tahun 2015 lalu dan juga ketika kondisi jagat Indonesia diserang oleh pandemi Covid-19 semenjak penghujung 2019 hingga 2021.

Ada politisasi BLT dan Bansos di mana-mana, begitu yang selalu dikatakan dan diulang oleh Pipin, sang Jubir Muda PKS,  dalam banyak kesempatan. Politisasinya dari aspek pembengkakan anggaran BLT dan Bansos, waktu dan tempat penyaluran dan identitas atribut yang digunakan dalam penyaluran hingga pihak-pihak yang terlibat dalam penyaluran, iming-iming dan penyesatan di dalamnya. 

Di mana waktunya dipercepat dengan alasan terjadi elnino. Pun pihak yang terlibat dalam penyaluran bukan langsung di bawah komando Menteri Sosial. Juga BLT dan Bansos dipolitisir menjadi sumbangan seorang Presiden. Bahkan politisasi terakhir ini langsung dimainkan oleh dua orang menteri.

Belum lagi marak pemberitaan tentang ada dugaan penggerakan aparatur Negara, mulai dari kepolisian, kepala Desa, PLT beberapa Daerah dan lainnya. Juga berbagai pemberitaan tentang bagaimana terjadinya dugaan kecurangan dalam proses pencoblosan hingga perhitungan suara. Di mana terjadi pengelembungan suara yang tidak wajar dengan menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan pihak lain. 

Bahkan sebelum ada dugaan terjadinya serangan hacker hingga terjadi down sistem, server aplikasi dan sistem bekerjasama dengan Alibaba dan bukan berada di Indonesia dan seterusnya, hingga sempat terjadi Pemilihan ulang pada beberapa TPS se-Indonesia, penghentian sementara rekapitulasi.

Selain itu, kebebasan berekspresi kian hari kian dibatasi dan dikebiri sedemikian rupa dengan berbagai macam dalih dan logika. Kritik-kritik konstruktif terhadap pemerintah bukan saja tidak didengar dan diindahkan, akan tetapi juga dilawan dengan tindakan represif oleh mereka yang dikatakan sebagai aparat keamanan. 

Sebuah ironi adalah mereka-mereka yang dulunya mengatakan begitu rindu dengan kritikan dan demonstrasi malah menghilang begitu saja ketika ada sekumpulan masa melakukan aksi. Entah malu-malu, takut atau apa. Intinya ketika ada tamu yang diharapkan tempo hari dalam "retorika hipokrasi" bertandang ke "istana" malah menghilang bak pocong di siang bolong.

Lebih ironis lagi adalah rupanya bersama dengan "pembatasan" ruang berekspresi ada terjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan masa depan keselamatan demokrasi dan bangsa kita, yakni bergentayangnya para kampret dan buzzeRp di mana-mana, dunia nyata maupun dunia maya, untuk melakukan kegaduhan; memfitnah, menghina, mencaci maki, menyebarkan hoax dan ujaran kebencian dan lainnya. 

Seolah-olah mereka yang berseberangan dengan pemerintah sebagai "terlarang" dalam mengekspresikan ragam pendapatnya dalam merespon pelbagai dinamika kehidupan bangsa dan negara. Sementara kampret dan buzzeRp dibiarkan begitu saja merusak wajah demokrasi dengan berbagai menuver, framing dan politik provokasi.

Puasa-isasi Alam dan Sistem Demokrasi

Dengan gambaran wajah demokrasi kita semacam itu maka nampak terlihat bahwa ada yang bermasalah terkait dengan sistem demokrasi dan "manusia-manusia demokrasi" kita. 

Sistem demokrasi kita sudah jauh menyimpang dari prinsip-prinsip dan koridor-koridor dalam berdemokrasi. Hal demikian tidak terlepas dari makhluk yang bernama "manusia-manusia demokrasi" itu. 

Pasalnya mereka berdemokrasi bukan untuk membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, keadilan, kesetaraan, emansipasi, kebebasan dan keterbukaan, tetapi malah "membajak" dan "membegal" sistem demokrasi sesuai dengan hasrat dan syahwat kekuasaan politik, termasuk menjalankan visi misi politik oligarki.

Dengan demikian, kita membutuhkan sebuah metoda dan strategi jitu untuk kembali "memposisikan" sistem demokrasi dengan manusia-manusianya pada tempat yang benar dan tepat. Memang di luar sana cukup banyak pendekatan yang dihadirkan untuk meretas problem demokrasi kita. 

Namun, tidak salah kemudian jika kita mencoba mengeja dan sekaligus mengurai benang kusut dari wajah perdemokrasian kita dari sudut pandang "puasa". Apatah lagi bangsa Indonesia, khususnya kalangan umat Islam, tengah merayakan ibadah puasa bersamaan di tengah-tengah geliat dan hiruk-pikuk suasana perpolitikan demokrasi 2024. 

Barangkali di sana ada "benang merah" yang bisa digunakan sebagai sudut pandang lain dalam melihat wajah demokrasi kita. Karena puasa erat kaitannya dengan "pendidikan jiwa". Nyaris sama dengan demokrasi, karena di sana ada "pendidikan demokrasi" untuk melahirkan jiwa-jiwa yang demokratis.

Secara umum, puasa memang merupakan ritual dan aktus yang bersifat private. Namun, keberadaan ajaran puasa juga bersentuhan dan beririsan dengan banyak hal. Bahkan ajaran puasa membawa implikasi secara langsung terhadap jiwa masing-masing dan dalam perkembangan selanjutnya jiwa-jiwa tersebut memberikan sentuhan lembut bagi jiwa-jiwa yang lain. Sehingga, puasa dalam konteks demikian juga memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan individu maupun sosial dan kebangsaan. 

Misalkan saja puasa sebagai sebuah pendidikan jiwa umat Islam dalam madrasah Ramadhan selama sebulan penuh. Jika hasilnya lahir manusia-manusia muttaqin sebagaimana halnya tujuan dari puasa itu, maka manusia-manusia tersebut secara tidak langsung bisa saja memberikan pengaruh kebaikan bagi orang lain, mulai dari keluarga, masyarakat dan meluas dalam tataran kehidupan bangsa dan negara. Karena demokrasi juga berawal mula dari "pendidikan jiwa masyarakat". 

Jika masyarakat yang terbina dalam sistem demokrasi itu baik, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi perjalanan sistem demokrasi ke depannya.

Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dalam puasa terdapat pesan dan pendidikan moral yang luar biasa. Orang yang berpuasa tidak diperbolehkan dan dibenarkan untuk melakukan hal-hal yang dapat merusak puasa. Bukan saja hal-hal yang bersifat makruh dan haram, tetapi juga yang mubah dan halal sekalipun. 

Artinya, orang-orang yang berpuasa dididik dan dibina sedemikian rupa untuk menjadi manusia-manusia yang selalu mempertimbangkan segala sesuatunya ketika hendak melakukan sebuah tindakan. Jika terhadap sesuatu yang mubah dan boleh saja dilarang untuk dilakukan untuk sementara waktu apatah lagi sesuatu yang sama sekali haram. Jiwa-jiwa manusia yang berpuasa tidak akan mau berkompromi dengannya. 

Karena mereka menyadari betul tengah menjalankan sebuah komitmen penghambaan dengan Allah dalam bentuk puasa. Mungkin saja manusia tidak tahu, namun Allah melihat, menyaksikan dan merekam dengan baik dalam memori ilmu dan kekuasaan-Nya. Di situlah potensi muraqabah sebagai "kesadaran baru" bagi orang-orang yang berpuasa. Sehingga, ruang mufakat jahat dalam berbagai manifestasi tidak akan terjadi.

Implementasinya dalam lingkup demokrasi adalah masyarakat, politisi dan penguasa harus menjaga dan merawat dengan sebaik mungkin sistem demokrasi dari segala sesuatu yang dapat merusak wajah demokrasi itu sendiri. 

Adakalanya sesuatu itu benar misalnya, tetapi boleh saja tidak bisa dipaksakan begitu saja untuk diterima dan diberlakukan dalam sebuah demokrasi. Maka, hal-hal yang memang dari sananya sangat berpotensi untuk merusak wajah demokrasi harus diminimalisir sedemikian rupa. 

Di situlah fungsi puasa dalam berdemokrasi. Masyarakat, politisi dan penguasa memiliki pengendalian diri yang bagus dalam mengawal sistem demokrasi. 

Masyarakat, politisi dan penguasa harus bisa menahan dan mengendalikan potensi-potensi jahat yang dapat merusak wajah demokrasi. Seperti abuse of power, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kriminalisasi, kebohongan publik, dan lain-lain. Karenanya, manusia-manusia yang lahir dan dilahirkan dari proses panjang demokrasi untuk menjadi pemimpin bangsa misalnya, harusnya merupakan manusia-manusia yang telah (dan terus-menerus) "membudayakan puasa" dalam semesta hidupnya.

Membangun Demokrasi Muttaqin 

Mungkin narasi yang mencoba "mengawinkan" term "muttaqin" dengan demokrasi rasa-rasanya agak aneh bin ajaib oleh sebab sistem demokrasi (kita) dihuni dan dijalani oleh berbagai kalangan manusia dengan latarbelakang yang begitu heterogen dan variatif. Tidak semua beragama Islam. Banyak agama-agama lainnya juga. 

Bahkan banyak identitas yang bersemai dan bersenyawa di dalamnya. Bukan cuman identitas agama, tetapi juga ada identitas suku, ras, bahasa dan bangsa. 

Namun, seperti halnya perbedaan antara puasa dan demokrasi, penggunaan term "muttaqin" dalam konteks demokrasi kita juga terbilang sah-sah saja. Apalagi makna lain dari term "muttaqin" (diandaikan) memiliki relevansi filosofis dengan alam demokrasi kita.

Setidaknya term "muttaqin" merupakan term khas dalam Islam, ia merupakan bahasa al-Qur'an (dan bahasa hadis). Dalam al-Qur'an, term "muttaqin" disebutkan kurang lebih empat puluh tiga kali. Sementara dalam bentuk frase "lilmuttaqin" disebut kurang lebih tujuh kali. Term "muttaqin" seakar dengan term "tattaqun" yang terdapat dalam ayat puasa (QS al-Baqarah/183). 

Pada ayat tersebut, "takwa" bukan saja menjadi orientasi dan goal akhir dari aktivitas puasa dan amaliah lainnya dalam bulan Ramadhan. Akan tetapi, takwa juga merupakan bagian dari "proses". Sehingga, takwa dan atau "muttaqin" dalam percakapan ini merupakan prinsip hidup yang harus menjiwai pelbagai aktivitas kehidupan, baik sebagai individu, masyarakat dan bangsa.

Dalam kaitannya dengan demokrasi, muttaqin dimaksudkan sebagai sebuah jalan lurus dan serba hati-hati. Demokrasi harus berjalan lurus ke depan. 

Tidak boleh belok sana besok sini. Apalagi di persimpangan jalur pembelokan terdapat parasit-parasit demokrasi di sana, mulai dari para oligarki, otoritarianisme dan diktatorianisme. Karenanya itu, untuk tetap berada pada jalan demokrasi yang lurus diperlukan juga sikap serba hati-hati dari pembajak dan pembegal demokrasi. 

Manusia-manusia demokrasi yang membudayakan puasa dan sampai pada maqam muttaqin akan mampu membawa demokrasi sebagai sistem yang akan memberikan harapan bagi masa depan peradaban bangsa dan umat manusia.

Wallahu A'lam.
Azis Maloko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun