Namun, seperti halnya perbedaan antara puasa dan demokrasi, penggunaan term "muttaqin" dalam konteks demokrasi kita juga terbilang sah-sah saja. Apalagi makna lain dari term "muttaqin" (diandaikan) memiliki relevansi filosofis dengan alam demokrasi kita.
Setidaknya term "muttaqin" merupakan term khas dalam Islam, ia merupakan bahasa al-Qur'an (dan bahasa hadis). Dalam al-Qur'an, term "muttaqin" disebutkan kurang lebih empat puluh tiga kali. Sementara dalam bentuk frase "lilmuttaqin" disebut kurang lebih tujuh kali. Term "muttaqin" seakar dengan term "tattaqun" yang terdapat dalam ayat puasa (QS al-Baqarah/183).Â
Pada ayat tersebut, "takwa" bukan saja menjadi orientasi dan goal akhir dari aktivitas puasa dan amaliah lainnya dalam bulan Ramadhan. Akan tetapi, takwa juga merupakan bagian dari "proses". Sehingga, takwa dan atau "muttaqin" dalam percakapan ini merupakan prinsip hidup yang harus menjiwai pelbagai aktivitas kehidupan, baik sebagai individu, masyarakat dan bangsa.
Dalam kaitannya dengan demokrasi, muttaqin dimaksudkan sebagai sebuah jalan lurus dan serba hati-hati. Demokrasi harus berjalan lurus ke depan.Â
Tidak boleh belok sana besok sini. Apalagi di persimpangan jalur pembelokan terdapat parasit-parasit demokrasi di sana, mulai dari para oligarki, otoritarianisme dan diktatorianisme. Karenanya itu, untuk tetap berada pada jalan demokrasi yang lurus diperlukan juga sikap serba hati-hati dari pembajak dan pembegal demokrasi.Â
Manusia-manusia demokrasi yang membudayakan puasa dan sampai pada maqam muttaqin akan mampu membawa demokrasi sebagai sistem yang akan memberikan harapan bagi masa depan peradaban bangsa dan umat manusia.
Wallahu A'lam.
Azis Maloko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H