Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sebuah Perspektif tentang Puasa dan Wajah Demokrasi Kita

14 Maret 2024   18:08 Diperbarui: 15 Maret 2024   18:15 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu, demokrasi. (Dok Shutterstock via Kompas.com) 

Jika masyarakat yang terbina dalam sistem demokrasi itu baik, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi perjalanan sistem demokrasi ke depannya.

Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dalam puasa terdapat pesan dan pendidikan moral yang luar biasa. Orang yang berpuasa tidak diperbolehkan dan dibenarkan untuk melakukan hal-hal yang dapat merusak puasa. Bukan saja hal-hal yang bersifat makruh dan haram, tetapi juga yang mubah dan halal sekalipun. 

Artinya, orang-orang yang berpuasa dididik dan dibina sedemikian rupa untuk menjadi manusia-manusia yang selalu mempertimbangkan segala sesuatunya ketika hendak melakukan sebuah tindakan. Jika terhadap sesuatu yang mubah dan boleh saja dilarang untuk dilakukan untuk sementara waktu apatah lagi sesuatu yang sama sekali haram. Jiwa-jiwa manusia yang berpuasa tidak akan mau berkompromi dengannya. 

Karena mereka menyadari betul tengah menjalankan sebuah komitmen penghambaan dengan Allah dalam bentuk puasa. Mungkin saja manusia tidak tahu, namun Allah melihat, menyaksikan dan merekam dengan baik dalam memori ilmu dan kekuasaan-Nya. Di situlah potensi muraqabah sebagai "kesadaran baru" bagi orang-orang yang berpuasa. Sehingga, ruang mufakat jahat dalam berbagai manifestasi tidak akan terjadi.

Implementasinya dalam lingkup demokrasi adalah masyarakat, politisi dan penguasa harus menjaga dan merawat dengan sebaik mungkin sistem demokrasi dari segala sesuatu yang dapat merusak wajah demokrasi itu sendiri. 

Adakalanya sesuatu itu benar misalnya, tetapi boleh saja tidak bisa dipaksakan begitu saja untuk diterima dan diberlakukan dalam sebuah demokrasi. Maka, hal-hal yang memang dari sananya sangat berpotensi untuk merusak wajah demokrasi harus diminimalisir sedemikian rupa. 

Di situlah fungsi puasa dalam berdemokrasi. Masyarakat, politisi dan penguasa memiliki pengendalian diri yang bagus dalam mengawal sistem demokrasi. 

Masyarakat, politisi dan penguasa harus bisa menahan dan mengendalikan potensi-potensi jahat yang dapat merusak wajah demokrasi. Seperti abuse of power, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kriminalisasi, kebohongan publik, dan lain-lain. Karenanya, manusia-manusia yang lahir dan dilahirkan dari proses panjang demokrasi untuk menjadi pemimpin bangsa misalnya, harusnya merupakan manusia-manusia yang telah (dan terus-menerus) "membudayakan puasa" dalam semesta hidupnya.

Membangun Demokrasi Muttaqin 

Mungkin narasi yang mencoba "mengawinkan" term "muttaqin" dengan demokrasi rasa-rasanya agak aneh bin ajaib oleh sebab sistem demokrasi (kita) dihuni dan dijalani oleh berbagai kalangan manusia dengan latarbelakang yang begitu heterogen dan variatif. Tidak semua beragama Islam. Banyak agama-agama lainnya juga. 

Bahkan banyak identitas yang bersemai dan bersenyawa di dalamnya. Bukan cuman identitas agama, tetapi juga ada identitas suku, ras, bahasa dan bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun