Lebih ironis lagi adalah rupanya bersama dengan "pembatasan" ruang berekspresi ada terjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan masa depan keselamatan demokrasi dan bangsa kita, yakni bergentayangnya para kampret dan buzzeRp di mana-mana, dunia nyata maupun dunia maya, untuk melakukan kegaduhan; memfitnah, menghina, mencaci maki, menyebarkan hoax dan ujaran kebencian dan lainnya.Â
Seolah-olah mereka yang berseberangan dengan pemerintah sebagai "terlarang" dalam mengekspresikan ragam pendapatnya dalam merespon pelbagai dinamika kehidupan bangsa dan negara. Sementara kampret dan buzzeRp dibiarkan begitu saja merusak wajah demokrasi dengan berbagai menuver, framing dan politik provokasi.
Puasa-isasi Alam dan Sistem Demokrasi
Dengan gambaran wajah demokrasi kita semacam itu maka nampak terlihat bahwa ada yang bermasalah terkait dengan sistem demokrasi dan "manusia-manusia demokrasi" kita.Â
Sistem demokrasi kita sudah jauh menyimpang dari prinsip-prinsip dan koridor-koridor dalam berdemokrasi. Hal demikian tidak terlepas dari makhluk yang bernama "manusia-manusia demokrasi" itu.Â
Pasalnya mereka berdemokrasi bukan untuk membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, keadilan, kesetaraan, emansipasi, kebebasan dan keterbukaan, tetapi malah "membajak" dan "membegal" sistem demokrasi sesuai dengan hasrat dan syahwat kekuasaan politik, termasuk menjalankan visi misi politik oligarki.
Dengan demikian, kita membutuhkan sebuah metoda dan strategi jitu untuk kembali "memposisikan" sistem demokrasi dengan manusia-manusianya pada tempat yang benar dan tepat. Memang di luar sana cukup banyak pendekatan yang dihadirkan untuk meretas problem demokrasi kita.Â
Namun, tidak salah kemudian jika kita mencoba mengeja dan sekaligus mengurai benang kusut dari wajah perdemokrasian kita dari sudut pandang "puasa". Apatah lagi bangsa Indonesia, khususnya kalangan umat Islam, tengah merayakan ibadah puasa bersamaan di tengah-tengah geliat dan hiruk-pikuk suasana perpolitikan demokrasi 2024.Â
Barangkali di sana ada "benang merah" yang bisa digunakan sebagai sudut pandang lain dalam melihat wajah demokrasi kita. Karena puasa erat kaitannya dengan "pendidikan jiwa". Nyaris sama dengan demokrasi, karena di sana ada "pendidikan demokrasi" untuk melahirkan jiwa-jiwa yang demokratis.
Secara umum, puasa memang merupakan ritual dan aktus yang bersifat private. Namun, keberadaan ajaran puasa juga bersentuhan dan beririsan dengan banyak hal. Bahkan ajaran puasa membawa implikasi secara langsung terhadap jiwa masing-masing dan dalam perkembangan selanjutnya jiwa-jiwa tersebut memberikan sentuhan lembut bagi jiwa-jiwa yang lain. Sehingga, puasa dalam konteks demikian juga memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan individu maupun sosial dan kebangsaan.Â
Misalkan saja puasa sebagai sebuah pendidikan jiwa umat Islam dalam madrasah Ramadhan selama sebulan penuh. Jika hasilnya lahir manusia-manusia muttaqin sebagaimana halnya tujuan dari puasa itu, maka manusia-manusia tersebut secara tidak langsung bisa saja memberikan pengaruh kebaikan bagi orang lain, mulai dari keluarga, masyarakat dan meluas dalam tataran kehidupan bangsa dan negara. Karena demokrasi juga berawal mula dari "pendidikan jiwa masyarakat".Â