Azis Maloko
Judul tulisan ini, khususnya bertalian dengan frase "seni mengukir kata", terinspirasi dari buah karya seorang Prof. Mulyadi Kartanegara yang bertajuk "Seni Mengukir Kata: Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif". Buku yang berukuran kecil lagi mungil ini dipersembahkan oleh Mulyadi untuk membimbing orang-orang yang hendak mengembangkan sayap potensi dan karirnya dalam dunia perliterasian.Â
Di dalamnya dijelaskan bagaimana menjadi pengukir kata yang memiliki seni tingkat tinggi sekaligus efektif dan kreatif. Sehingga, buah karya yang berhalaman sekitar tiga ratusan lebih ini semacam sebuah oase bagi pegiat dunia perliterasian, di sana terdapat petunjuk-petunjuk praktis lagi mudah untuk menjadi seorang penulis.
Kita pasti tahu siapa sebenarnya sosok seorang Mulyadi Kartanegara. Ia adalah seorang filosof muslim ternama berkebangsaan Tanggerang. Ia merupakan seorang penulis yang terbilang begitu produktif dalam menelurkan pelbagai karya ilmiah yang diakui dunia akademik, baik berbentuk jurnal hingga buku berbahasa Indonesia maupun berbahasa Asing. Di antara buah karya lainnya dalam bentuk buku adalah Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Nalar Religius: Memahami Tuhan, Alam dan Manusia, Menyelami Lubuk Tasawuf, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam dan Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam hingga karya termutakhirnya yang berjudul Mengarungi Lautan Ilmu: Sebuah Autografi yang berjumlah enam jilid.
Meskipun demikian, muatan-muatan buah karya seorang Mulyadi sama sekali tidak terkait secara langsung dengan konsep dan gagasan yang diturunkan dalam tulisan ini. Pengutipan buah karya Mulyadi hanya sekedar mengingatkan bahwa menulis atau dalam istilahnya disebut mengukir kata memiliki seni tersendiri. Seni terkait dengan tata cara dan pedoman menulis sebuah karya dengan baik dan benar. Dengan kata lain, seni dalam kaitannya dengan mengukir kata memberikan konotasi bahwa sesungguhnya menulis adalah sebuah skil yang terbentuk dari proses dan habitus pembelajaran terkait dengan hal ihwal tentang dunia perliterasian alias bukan sesuatu yang given dan kodrati pada makhluk yang bernama manusia.
Sebenarnya tulisan ini lebih merupakan refleksi khusus yang dilakukan terhadap pembacaan pelbagai karya ilmiah sekaligus pengalaman khusus dalam memberikan konsultasi terhadap karya ilmiah, baik dalam bentuk jurnal maupun skripsi, tesis bahkan disertai sekalipun.Â
Dalam rangkaian proses itu, khususnya berhadapan dengan karya seorang mahasiswa tingkat strata satu, ditemukan banyak hal yang membuat kening menjadi berkerut. Pasalnya, banyak mahasiswa hari ini hanya "maha" terkait dengan namanya saja.Â
Pada kenyataannya malah kata "maha" yang disematkan kepada mereka yang dikatakan sebagai mahasiswa itu tidak lebih hanya sebagai sebuah nama yang tidak dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin dalam aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa.
Kritik-kritik semacam ini mudah untuk ditemukan di mana-mana, dalam ruang-ruang perbukuan hingga pada ruang-ruang percakapan yang seringkali digandrungi oleh seorang mahasiswa. Hal demikian terbilang cukup wajar-wajar saja oleh sebab pada kenyataannya memang demikian halnya. Banyak problem berkaitan dengan mahasiswa, hatta sebagian mereka dikenal begitu aktif melakoni tradisi membaca, berdiskusi dan bisa saja berbicara dengan retorika yang mencakar langit. Di mana banyak mahasiswa selain tersandera oleh penyakit D3P (datang, duduk, diam dan pulang) plus K2BT (kos kampus kos, berhura-hura lalu tidur), juga rupanya mengalami sindrom gagap berkarya ilmiah, yakni sulit bahkan tidak bisa sama sekali untuk menulis sebuah karya ilmiah dengan baik dan benar.
Padahal, salah satu aspek pemikiran yang seringkali dinyanyikan secara berulang kali dalam setiap kali mempercakapkan makhluk yang bernama manusia (tentunya mahasiswa juga manusia) adalah berpikir (yang) menjadi ciri khas (baca: identitas) mahasiswa itu adalah sebuah aktivitas berpikir dari tidak tahu menuju pada tahu atau berpikir dari kejahilan menuju pada keilmuan. Berdasarkan logika ini, seharusnya ketika seorang mahasiswa kesulitan untuk mengerjakan karya ilmiahnya karena tidak ada ilmu atau pengalaman di sana misalnya, maka di situlah ruang aktualisasi doktrin terkait berpikir itu. Artinya, ketidaktahuan dan ketidakpernahan seorang mahasiswa dalam menulis karya ilmiah harusnya menjadi pemantik baginya untuk belajar hingga menjadi tahu.
Rupa-rupanya doktrin tersebut hanya berlaku dalam dunia perdiskusian (prematur penuh kamuflase). Karena, doktrin tersebut tidak teraktualisasi dengan baik dalam pelbagai segmentasi kehidupan yang di dalamnya melibatkan aktivitas berpikir. Hal serupa terjadi dalam relasinya dengan dunia peragamaan. Mahasiswa muslim kebanyakan melupakan identitas penting baginya; identitas mu'abbid (seorang hamba), identitas mujahid (seorang pejuang dalam kebaikan pada umumnya) dan identitas mujtahid (seorang intelektual). Mereka hanya fokus pada identitas mereka sebagai seorang mahasiswa yang dirumuskan dalam istilah "rakus" (rasional, analitik, kritis, universal dan sistematis) sampai-sampai lupa pada aktualitasnya dalam identitas lainnya dan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang mahasiswa akhir.