Termasuk topik percakapan publik yang terbilang menarik adalah perihal "perubahan iklim politik". Sebab, perubahan iklim politik diandaikan sebagai salah satu dari sekian banyak faktor penyebab jatuh bangunnya suatu peradaban.
Tentunya, peradaban yang dimaksud dalam skop dan skala paling kecil. Misalnya, peradaban untuk masyarakat dan kampung tertentu.
Tesis demikian setidaknya berangkat dari fakta empiris yang mengandaikan bahwa "kuasa politik" memiliki kekuatan dan akses yang besar dan luas dalam melakukan kerja-kerja politik untuk membangun peradaban bagi masyarakat dan kampung tersebut. Bahkan bisa-bisa saja "denyut nadi" peradabannya sangat terpulang dan tergantung pada "kuasa politik".
Perubahan iklim politik pada sesungguhnya merupakan sesuatu yang niscaya. Apalagi dalam politik juga kita mengenal sebuah pameo politik bahwa politik adalah sesuatu yang dinamis, ia berubah dalam setiap saat. Sampai-sampai dikatakan tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali hal ihwal terkait dengan kepentingan.
Bahkan karena kepentingan, politisi dan partai politik bisa saja bermesra ria dengan rival politiknya bak sepasang kekasih dalam kerangka koalisi, meski sebelumnya mereka saling bermusuhan dalam kerangka oposisi politik.
Tidak terkecuali juga kadang mereka-mereka malah rela bermusuhan satu sama lainnya dalam kerangka oposisi, hatta sebelumnya mereka pernah begitu mesra dalam pelbagai kontestasi politik.
Setidaknya itulah di antara wajah dan narasi politik seputar politisi dan partai politik dalam setiap kontestasi. Kita bisa saja melihat dalam horizon perpolitikan kita. Paling dekat adalah kontestasi politik 2019 kemarin. Di situ wajah perpolitikan kita penuh dengan sentimen, hate space, konflik dan permusuhan.
Meskipun, setelah itu para pemain yang ikut serta dalam merusak wajah perpolitikan kita malah bermesra ria dalam politik, bukan saja di balik layar, akan tetapi dipertontonkan dengan begitu telanjang. Tiba-tiba banyak mendadak “amnesia”. Seolah-olah tidak ada sama sekali masalah dalam perpolitikan kita tempo hari.
Hal demikian bukan semata soal sikap kesatria dan negarawan seorang politisi. Akan tetapi, soal etika dan komitmen dalam berpolitik. Etika dan komitmen kita dalam merawat dan menjaga keberlangsungan sistem politik demokrasi kita dengan jujur, adil dan adem ayem.
Sebab, kita tidak ingin alam dan wajah politik demokrasi kita rusak hanya karena kepentingan sesaat (konflik interest) antara sesama anak bangsa. Karena, mahal biayanya jika sampai politik kita rusak oleh manusia-manusia nir akal dan moralitas dalam berpolitik demokrasi.