[caption id="attachment_133250" align="aligncenter" width="600" caption="Salah satu bukit pulau Salaka, kepulauan Togean, Sulawesi Tengah (FOTO:Fahmi)"][/caption]
Ombak terasa begitu tenang ketika perahu kecil bermesin yang saya tumpangi memasuki perairan pulau Salaka, yang berada di kepulauan Togean, kecamatan Ampana, kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Bayang-bayang perkampungan di kaki bukit nan hijau sudah terlihat jelas. Diatas permukaan laut, tampak rumah beratapkan jerami, berdinding papan dengan tiang terpancang kedasar laut berderet mengelilingi tiga bukit pulau itu.
Dari bentuk rumah apung itu sangat jelas menggambarkan jika saya sudah berada di kampung suku Bajo. Pulau saya lalui dalam perjalanan ke dermaga kepulauan Togean, Wakai, kemarin. Dari dermaga itu, memakan waktu sekitar 15 menit. Perahu merambat pelan menyusuri pemukiman ini, sambil memperhatikan suasana disana; sejumlah ibu sedang menjemur ikan diatas rumah, anak-anak dengan riangnya mencebur diri kedalam kemilau air laut dari atas sampan sementera didekatnya terlihat sejumlah pria setengah tua sedang memindahkan ikan tangkapannya ke darat. Ditengah perairan bukit terlihat juga beberapa perahu sedang menyebrangkan anak-anak dari bukit satu ke bukit sebelahnya. Pulau ini agak sepi saat saya bersama tiga teman serta pemilik perahu yang kami ”carter” mendarat di bukit yang terletak di ujung kanan, namun suara mesin pemotong kayu terdengar sekali-kali dan mesin pembangkit listrik, genset tiada henti sedikit dari balik rumah memecah keheningan pemukiman itu. Padangan saya arahkan ke bukit, benar-benar tidak ada rumah yang berdiri diatas bukit itu alias hanya pohon. Deru mesin itu telah menandakan suku Bajo disana sudah tersentuh modernisasi. laju perubahan kampung suku yang dikenal sering berpindah-pindah diperairan laut itu tergambarkan dari sejumlah rumah yang sudah menggunakan beton, batu-bata dan berbagai cat warna cerah didinding rumah. ”Disini memang sudah tersentuh dunia modern, ” ujar Muhammad Idrus, dirumahnya saat kami bertamu. Idrus adalah salah satu tokoh masyarakat Bajo, namun karena menikah dengan suku Bone atau Bugis dari Sulawesi Selatan ia mengaku tidak asli lagi sebagai suku yang kerap disebut ”bajak” laut ini. Salaka yang disematkan pada nama pulau itu merupakan bahasa Bajo yang mengartikan Perak. Diberikan mana itu karena warna batu di bukit itu seperti perak. Pulau ini merupakan satu dari beberapa pulau perkampungan suka Bajo yang tersebar dipinggir-pinggir kepulauan Togean, seperti pulau Kuling Kenari, pulau Bomba, pulau Siatu, pulau Tumbu Lawa, pulau Patoyang.
[caption id="attachment_133253" align="aligncenter" width="620" caption="Pulau Salaka (FOTO:FAHMI)"][/caption]
Idrus bercerita, selain hadirnya mesin modern itu, kehidupan masyarakat Bajo di pulau itu sudah tersentuh perbauran dengan suku lain yang ada di Sulawesi Tengah. Masyarakat suku Bajo sudah banyak menikah dengan suku Bone atau Bugis Sulawesi Selatan dan suku Ta, kaili suku asli Sulteng, Mongondow (Gorontalo) dan lain-lain.
Perbauran terjadi, kata Idrus, karena dulu mereka mencari ikan sampai jauh hingga menemukan perkampungan nelayan dan menikah disana, lalu dibawah kemari dan ada juga hanya berbaur di pulau Togean yang dipenuhi warga dari berbagai suku. Idrus menyebutkan sejarah keberadaan mereka di pulau yang terletak ditengah teluk Timoni itu agak kabur. Sebab, kata kakek 20 cucu ini, para tetua sudah tidak ada lagi yang bisa menceritakan awal keberadaanya disana. Bahkan suku Bajo yang bermukim di sekitar kepulauan Togean ini tidak mengetahui jika suku Bajo tidak hanya ada diperairan itu atau Wakatobi, Sulawesi Tenggara tapi sampai Filipina dan Asia lainnya. ”Kami tahu ketika peneliti tentang suku Bajo dari Australia menceritakan keberadaan suku Bajo lainnya, ” Kedatangan peneliti yang ia tidak tahu siapa namanya itu lebih kepada bahasa Bajo yang digunakan suku ini di kepulauan itu. Menurut Idrus bahasa kami dengan bahasa suku Bajo yang ditelitinya sama. ”Banyak bahasa yang ditanya. Katanya juga digunakan suku Bajo lainnya, ” Posisi pulau Salaka yang dekat dengan Kecematan Wakai, di Kepulauan Togean, sangat memungkinkan anak-anak meraka disekolah disana. Bahkan ada dua anak suku Bajo yang kuliah di kota Palu. ”Sekolah juga perlu bagi anak-anak kami. Apakah ia ingin menjadi seperti ayahnya atau melanjutkan pendidikan itu tergantung mereka. Dalam keluarga kami bebas, ” ujar Idrus. Selain itu, penduduk Salaka mengambil air tawar dari Wakai dengan membentangkan selang panjang dibawah laut. Warga Suku Bajo lainnya, Muhammad Idrus, menyebutkan jika laut adalah kebun suku Bajo. Hidup dengan menangkap ikan kemudian menjualnya kepada pengusaha yang tiap hari menyambanginya. ”Suku kami ini dimana ada ikan, disitulah kami bertempat tinggal, ” kata Idrus. Menurut pria kelahiran 1951 ini, suku Bajo di pulau Salaka berbau dengan suku lain, namun mata pencariannya tetap satu, yakni menangkap ikan. Daerah penangkapan mereka sekitar teluk Tomini saja. ”Tiap hari ada pengusaha yang datang beli ikan kami, ” Idrus menjelaskan, dirinya tidak punya cerita soal muasal keberadaan suku Bajo disana. Menurutnya, sudah banyak wisatawan atau pendatang yang bertanya mengenai suku mereka, namun Idrus kecil dan besar dilautan Sulawesi Tengah ini dan tidak terlalu memperhatikan berberadaanya disana. ”Sejak kecil saya sudah diatas perahu mencari ikan, bersama ayah atau kakek. tidak pernah mencari tahu kami dari mana, ”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H