MU barangkali tidak akan setuju. Bagi yang lebih suka mengolok-olok si Munyuk ini, ulasannya juga tidak sesuai
Memasuki musim 2021/22, Ole Gunnar Solskjaer kembali mempersiapkan skuadnya yang terbaik. Ole sudah dua setengah musim melatih MU, musim ini diharapkan jadi musim panen trofi untuk Manchester United. Apalagi MU melengkapi skuadnya dengan pemain semacam Jadon Sancho, Raphael Varane dan Cristiano Ronaldo. Namun yang terjadi justru antiklimaks. MU terseok-seok, dan Ole dipecat di pertengahan musim.
Beberapa fans percaya, ini adalah musim yang sangat buruk, dan bukti bahwa Ole tidak lebih dari guru penjas. Namun, saya pribadi berpendapat sebaliknya. Saya selalu yakin, ini akan menjadi musim terbaik Ole, dan dia akan mengangkat trofi di akhir musim. Sayang semua ambyar gara-gara satu kesalahan kecil. Ole memasukkan Cristiano Ronaldo dalam skuadnya. Loh, jadi ini salah Ronaldo? Sebenarnya tidak begitu konsepnya. Ini bukan tentang siapa yang salah, tapi apa yang salah. Ini ulasannya.
Skema permainan Ole Gunnar Solskjaer
Ole tumbuh di zaman keemasan Sir Alex Ferguson. Maka tak heran, banyak skema taktik Ole yang terinspirasi dari Sir Alex. Permainan sepak bola cepat, menyerang, mengandalkan kecepatan dan transisi, adalah pola pokok MU zaman Sir Alex dan diteruskan oleh Ole Gunnar Solskjaer.
Ole kemudian menyempurnakan taktiknya itu dengan pola permainan cair, para pemain saling mengisi, dan finishing yang bagus. Maka di zamannya, Bruno Fernandes, Marcus Rashford, Mason Greenwood hingga Anthony Martial, bisa jadi pemain penting. Dalam skema taktik Ole, Rashford bisa mencetak 17 gol, terbanyak semusim sebelum musim 2022/23.
Tentu saja, dalam skema ini juga diperlukan Holding Midfileder yang jago memotong bola, bek sayap cepat yang bisa overlap, dan lini belakang yang kokoh. Ole memang belum punya semuanya saat dia dipecat, tapi dia terus melengkapinya. Sistemnya cukup jelas, dan terbukti ampuh. Di tangannya, MU diantar ke posisi 3 dan kemudian 2 di Liga Inggris.
Puzzle Ole
Ole bukan pelatih seperti Guardiola yang identik dengan perencanaan skuad yang matang. Banyak yang mengejek Ole sebagai Guru Penjas. Namun dia tetap punya planning untuk timnya. Selama dua setengah musimnya di Old Trafford, dia terus menyempurnakan skemanya, dan menambah pemain yang diperlukannya.
Musim panas 2019, Ole mendatangkan Daniel James, Aaron Wan-Bissaka serta Harry Maguire. Rekrutan yang agak aneh, tapi idenya jelas. Ole membeli James karena butuh Sprinter, Ole membeli Maguire karena lini belakang MU perlu diupgrade. Maguire diharapkan jadi upgrade sempurna layaknya Van Dijk, sebab peformanya di Leicester memang bagus. Ole membeli Wan-Bissaka karena Mu butuh bek kanan.
Musim dingin 2019, Ole kembali menyadari apa kekurangan utama skuadnya. Mereka kekurangan penghubung antara lini tengah dan depan. Pogba, Fred, McTominay ataupun Andreas Perreira tidak bisa menjalankan peran itu dengan konsisten. Terputusnya koneksi lini tengah dan depan membuat serangan MU kadang stuck. Karena itulah mereka membeli Bruno Fernandes. Kepingan puzzle Ole kian terbentuk.
Musim panas 2020, MU kembali ke Liga Champions. Ole kembali menambah amunisi skuadnya, mayoritas dengan pemain pelapis. Van de Beek sebagai pelapis Bruno, Alex Telles sebagai pelapis Shaw. Ini wajar sebab MU butuh kedalaman skuad yang baik. Terlepas dari fenomena "gini doang Grup Neraka", MU sempat menampilkan peforma gemilang dengan tidak 100% tim terbaiknya.
Ole kemudian menyadari bahwa timnya memerlukan seorang game changer. Bruno adalah game changer, tapi berharap pada Bruno saja itu bodoh. Ole sebagaimana dia katakan, ingin punya pemain yang siap bertarung untuk MU hingga kepalanya pecah. Mengingat kekalahan MU di semifinal Liga Europa musim sebelumnya, MU memang butuh seorang Game Changer. Game changer yang dibutuhkan Ole hadir dalam sosok Edinson Cavani.
Salah satu pertunjukan terbaik pasukan Ole adalah di saat menghadapi AS Roma. Mereka mengalahkan pasukan Serigala dengan skor besar, 6-2. Terlepas dari akhirnya MU kalah di final, Ole sudah menunjukkan progress gemilang. Tinggal penambahan di sana sini. Lalu sampailah mereka di musim 2021/22.
Mengintip Puzzle Ole yang semakin sempurna sebelum kedatangan Ronaldo
Seusai laga final Europa League, Ole bergerak lagi di bursa transfer. Beberapa posisi ingin diperkuatnya. Daniel James, meski sprinter yang tangkas, tapi insting golnya tak terasah. Dia tidak bisa diandalkan. Ole punya Mason Greenwood, tapi dia ingin pemain muda itu bermain di posisi nomor 9 palsu yang cair. Ole butuh seseorang di posisi winger kanan. Karena itulah dia mendatangkan Jadon Sancho.
Di belakang, Ole tidak tutup mata pada performa lawak Maguire di tiap pekan. Maka didatangkanlah bek kelas dunia, Raphael Varane ke Old Trafford. Harapannya jelas, Varane bisa meng-cover kekurangan Maguire yang kerap tak aware pada pergerakan lawan.
Musim panas 2021, secara teknis, skuad MU-nya Ole sudah menyempurna. Dia punya De Gea, salah satu shot stopper terbaik dunia. Seorang kiper yang sangat cocok dalam skema counter attack. MU kini punya dua bek tangguh, Maguire dan Varane. MU punya dua bek sayap, Shaw dan Bissaka. Holding Midfielder MU, agak bapuk sih, tapi dalam situasi yang tepat, Fred bisa kerasukan Casemiro. Dan tentu saja kuartet penyerangan MU yang sangat cair dan berbahaya. Rashford, Bruno, Sancho dan Greenwood. MU sudah menunjukkannya saat mengalahkan Leeds di pekan pertama.
Lalu masuklah Cristiano Ronaldo.
Bagaimana Ronaldo menghancurkan Manchester United
Dengan segala hormat, Ronaldo adalah pemain hebat, salah satu yang terhebat sepanjang masa. Tapi Ole Gunnar Solskjaer membangun puzzle nya tanpa mempertimbangkan Ronaldo pada awalnya. Kepindahan Ronaldo saja sangat mengejutkan dan itu terjadi karena desakan banyak pihak. Sudah jadi rahasia umum kalau MU mendatangkan Ronaldo hanya demi tetangga berisik tidak mendapatkannya.
Masalahnya adalah, Ronaldo itu bukan tipikal pemain yang Ole sekali. Ronaldo tak bisa dipakai dalam skema sepak bola transisi cepat. Sentuhan Ronaldo memang masih tajam, tapi dalam hal stamina dia sudah kurang. Tak bisa dipungkiri, Ronaldo datang ke MU sebagai pemain uzur.
Situasi ini kemudian menjebak Ole dalam posisi simalakama. Hendak memainkan Ronaldo tapi tidak sesuai taktik. Hendak tak dimainkan, MU akan rugi sebab dia pemain bergaji termahal di klub. Hendak disingkirkan, manalah mungkin. Ole bukan Ten Hag yang punya ketegasan berlebih. Ole adalah tipikal pelatih humble yang merangkul semua pihak. Lihat bagaimana Maguire, Bissaka dan Fred terus jadi andalan kendali kerap bermain lawak. Akhirnya Ole memutuskan memainkan Ronaldo
Sekali dua kali, Ronaldo bermain cemerlang. Seperti saat debutnya lawan Newcastle. Tapi sering pula memainkan Ronaldo, MU malah kena deadlock sebab skemanya tidak jalan. Keberadaan Ronaldo juga harus memaksa Ole mengubah skema bermainnya untuk mendukung Ronaldo. Rashford yang sering mencetak gol kini harus mengalah pada Ronaldo. Bruno yang kemarin jadi tumpuan, kini harus mengalah demi melayani Ronaldo. Lalu mulai timbul intrik-intrik, Ronaldo memperburuknya dan akhirnya Ole dipecat.
Saya meyakini seandainya Ronaldo tidak datang ke Old Trafford di musim itu, ada kemungkinan peforma MU akan lebih baik. Jika Ole dibiarkan menjalankan plannya, memainkan Sancho, mencari ramuan yang bisa mempersatukan Varane dan Maguire, melanjutkan ide memainkan Greenwood sebagai nomor 9 palsu yang roaming. Bisa saja, bisa saja, Ole mempersembahkan trofi pertama untuk Manchester United
Yaitu trofi Carabao Cup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H