[caption id="attachment_207849" align="aligncenter" width="607" caption="foto: http://week.manoramaonline.com/"][/caption]
“Jakarta will, for the second time, be the host city for World Tobacco Asia 2012 and the perfect location to celebrate World Tobacco’s 40th year organising international tobacco events. Indonesia’s cigarette market is considered the world’s fastest developing market. 30 percent of the 248 million adult population smokes which makes Indonesia the fifth-largest cigarette market in the world. Indonesia is a recognized tobacco-friendly market with no smoking bans or other restrictions and regulations in contrast to neighboring ASEAN countries. In 2009, the Asia Pacific region added six million new smokers and will add another 30 million smokers by 2014. Ensure you take advantage of this growing market by exhibiting at World Tobacco Asia 2012.” -dilansir dari laman awal website resmi World Tobacco Asia.
Masih lekat dalam ingatan kita, betapa di 2010 lalu Indonesia berkabung atas direndahkannya harga diri bangsa dengan penyelenggaraan World Tobacco Asia Exhibition 2010, tahun ini kita dipaksa kembali menenggak keprihatinan yang juga tak kalah dalam. World Tobacco Asia kembali diselenggarakan di Indonesia, kali ini sekaligus perayaan ulang tahun World Tobacco ke-40. Pemerintah, yang seharusnya memprioritaskan kesehatan dan nama baik bangsa, untuk kesekian kalinya ‘lupa’ melaksanakan amanahnya. Di sisi lain, industri-industri rokok, dengan adanya peraturan-peraturan yang cukup ketat dalam pengamanan tembakau di hampir seluruh negara di dunia, semakin memfokuskan anak panahnya ke Indonesia. Regulasi yang lemah, Peningkatan jumlah perokok usia muda yang sangat pesat, dan populasi penduduk yang besar sukses mengantarkan Indonesia menjadi asbak besar nan nyaman bagi sampah-sampah nikotin dunia.
Pembiaran atas pembohongan dan pembodohan melalui iklan-iklan rokok, ayat tembakau di UU Kesehatan 2009 yang sempat hilang, dan belum disahkannya RPP Pengamanan Tembakau sampai saat ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan betapa rapuh dan tidak seriusnya pemerintah dalam melindungi kesehatan publik. Dalam hal ini, justru pemerintah terkesan lebih ‘manut’ pada intervensi industri rokok.
Sesekali memang ada keprihatinan tentang dampak buruk rokok. Tayangan Aldi, bocah 2 tahun yang muncul sedang menikmati rokok dengan khidmat di Youtube misalnya, memicu keprihatinan yang luas dari berbagai kalangan. Begitu pula yang terjadi saat Noor Atika Hasanah (Tika), gadis 25 tahun (yang bertahun-tahun jadi perokok pasif) meninggal lantaran paru-parunya terinfeksi pada Desember 2010 lalu, juga kontan melambungkan berbagai keprihatinan dan kecaman akan bahaya rokok. Tapi keprihatinan sebatas keprihatinan. Kecaman cuma jadi kecaman. Industri rokok tetap berdiri kokoh ditopang oleh 80 juta pecandu rokok seantero Indonesia. Para pebisnis racun nikotin juga tetap masuk deretan orang terkaya sejagat.
Seperti belum ‘puas’ dengan fakta-fakta ironis yang ada, kini pemerintah kembali menunjukkan kerapuhan dan ketidakseriusannya dalam melindungi kesehatan publik. Penyelenggaraan World Tobacco Asia, sebuah konferensi dan pameran internasional yang dihadiri berbagai pengampu kepentingan industri rokok internasional digelar untuk kedua kalinya di Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Idealnya tuan rumah WTA digilir di negara-negara di Asia. Kenyataannya: 2010 Indonesia, 2011 Filiphina, lantas mengapa 2012 kembali di Indonesia? Dan Ironisnya lagi, saat negara-negara lain menolak menjadi tuan rumah atas nama regulasi dan kesehatan bangsanya, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerima dengan tangan terbuka.
Lantas apa tujuan diselenggarakannya WTA di Indonesia? Sudah jelas, industrialisasi rokok dan pengukuhan Indonesia sebagai pasar empuk Industri rokok seluruh dunia. Akan dipamerkan peralatan-peralatan canggih yang entah mampu memproduksi berapa juta batang dalam satu detik, yang kemudian akan menggantikan ribuan buruh-buruh linting yang tidak efisien. Akan dibicarakan bagaimana strategi membodohi remaja (khususnya Indonesia) agar menjadi penyembah setia rokok. Bahkan boleh jadi akan terjadi deal-deal politik untuk bersatu saling dukung untuk ‘menjajah’ dan menghisap darah bangsa Indonesia dengan nikotin. Inikah Indonesia, yang katanya negara yang berdaulat?
Di masyarakat diedarkan pertanyaan-pertanyaan konyol. Bukankah kretek merupakan warisan budaya sehingga kita perlu menjaganya? Ini kampanye yang digembor-gemborkan industri rokok. Kretek bukan warisan dan budaya karena merupakan upaya Belanda pada waktu itu untuk menjual tembakau/rokok di pasar Indonesia. Dan seperti kita ketahui bersama: Cigarettes kills. Maka tentu membunuh dan meracuni bangsa melalui asap racun rokok bukanlah budaya bangsa Indonesia yang ingin kita tampilkan dan lestarikan.
Bahkan Menurut catatan LDFEUI, sejak tahun 2005 PT. Philip Morris International telah menguasai 98 persen saham dari PT HM. Sampoerna. Sementara PT. British American Tobacco (BAT) telah mengakuisisi 57% saham dari PT Bentoel International Investama milik group Rajawali. Pada Juli 2011, KT&G, sebuah perusahaan dari Korea mengumumkan telah membeli 60% saham milik PT Trisakti Purwosari Makmur (TPM), sebuah perusahaan rokok terkemuka dari Surabaya. Sehingga sudah ada tiga raksasa perusahaan rokok multinasional yang menguasai industri rokok dalam negeri.
Pertanyaan selanjutnya, bukankah WTA akan membantu petani Indonesia? Kenyataannya sebagian besar tembakau diperoleh dari hasil import. Perhatian industri rokok adalah pada pasar potensial Indonesia terutama anak-anak, remaja laki-laki maupun perempuan. Bukan pada kemajuan ekonomi Indonesia apalagi kesejahteraan petani.
Yang sudah pasti rokok adalah sumber kemiskinan dan kontra pencapaian MDGs: karena cukai rokok yang dibanggakan itu sebenarnya dibebankan kepada perokok, dan malah menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras, terutama di rumah tangga miskin. Selain itu juga penyakit akibat merokok atau menghisap asap rokok orang lain memiliki beban nilai yang dapat mencapai 5 kali lipat nilai cukai yang masuk. Rakyat yang sakit tidak mungkin dapat memaksimalkan produktivitasnya. Ini juga menjadi beban negara dan upaya boikot bagi pencapaian MDGs Indonesia.