Mohon tunggu...
Azhariah Rachman
Azhariah Rachman Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

seorang istri, ibu, sekarang mahasiswa (diubah berdasarkan tulisan Tante Paku)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lelaki Kabut dan Boneka; Membuat Manusia Menjadi Residu

27 Maret 2010   02:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lelaki Kabut dan Boneka, sebuah cerpen dalam kumpulan cerpen “Bukavu” Karya Helvy Tiana Rosa, adalah cerpen yang sangat berbeda dari semua cerpen Helvy Tiana Rosa dalam ‘Bukavu’. Cerpen yang mengisahkan satu karakter yang bukan berasosiasi dengan manusia, hewan maupun tumbuhan, menjadikan cerpen ini sungguh abstrak diantara cerpen-cerpen lainnya. Menariknya, karakter utama tidak lagi beradu dengan karakter lain dalam menentukan siapa antagonis atau protagonis. Karakter yang dominan hanya ada satu dalam ‘Lelaki Kabut dan Boneka’, Angkara. Angkara diceritakan sebagai karakter yang ‘tidak mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebenarnya ia ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari, rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang diciptakannya sendiri…’(hal.11). Kalimat pembuka seperti inilah yang mengawali penggambaran pengarang tentang karakter utama dalam cerpen ini. Angkara dikisahkan mempunyai sepasukan boneka yang diangkat sebagai anak-anaknya. Mereka inilah yang membantu Angkara mewujudkan skenarionya membuat terror. Merekalah yang mengeksekusi semua korban, membunuh, membakar dan sebagainya. Di saat Angkara selesai atau akan membuat keonaran, di saat itu pula muncul Sunyi yang selalu mengingatkannya akan kejahatan yang dilakukan. Sunyi merupakan karakter lain dalam cerpen ini. Angkara hanya mampu takluk pada Sunyi, seorang perempuan yang digambarkan berwajah pias dan sangat senang mengenakan baju berwarna pucat dengan kembang-kembang merah yang meleleh seperti darah. Perempuan itu telah’bersamanya bertahun-tahun. Yang menempati hati dan mengecup semua lukanya setiap saat, namun tak sekali pun memangggil namanya’ (hal.14). Angkara hanya berbuat onar dan melakukan terror. Itu saja yang dilakukannya setiap hari hingga cerita ini berakhir. Bahkan seorang ‘Sunyi’ pun tidak mampu menahannya untuk berhenti. Biarpun sesaat. Dan selalu saja ada korban yang berjatuhan dimana-mana. Darah pun berceceran dimana-mana. Pengarang, di luar pakem, membuat pembaca seketika menjadi bertanya-tanya akan siapa dan bagaimana karakter utama yang menjadi judul cerpen “Lelaki Kabut dan Boneka’. Inilah dunia abstrak, dunia yang berada diantara ‘batas khayal dan kenyataan’ (hal. 16). Pengarang membawa kita menyusuri dunia yang tidak biasa kita temui, yang tidak nyata tetapi akan selalu hadir dalam imajinasi dan pikiran manusia. Dunia surealistis yang oleh penulisnya digambarkan dengan tingkah laku yang tidak seperti kebanyakan bisa kita dapatkan di dunia nyata. Dalam kacamata magic realism, cerpen ini dengan sederhana menampilkan tema dan objek yang imajiner yakni hilangnya kemanusiaan manusia digantikan dengan nafsu yang berubah menjadi manusia. Maujud abstrak manusia menjadi sosok Angkara ini adalah kelihaian penulis dalam melihat aspek kemanusiaan yang tergantikan dengan nafsu. Manusia tidak lagi mendengar kata hatinya, hingga dunianya menjadi tanpa makna. Kosong menjadi dunia abstrak. Dunia abstrak yang awalnya dimiliki oleh Angkara maujud menjadi dunia realitas. Realitas yang menjadi nyata seolah-olah dunia manusia. Dengan kata lain, surealitas menjadi realitas. Sebab penanda posmodernisme adalah hilangnya makna, sehingga penggambaran karakter Angkara adalah kredo pengarang tentang sebuah makna kemanusiaan manusia yang hilang. Angkara digambarkan sebagai manusia, seorang lelaki, yang hidup di dunia fana, namun tampak sebagai kabut. Makna yang hilang dalam kata Angkara adalah pengaburan eksistensi kata itu kepada rujukannya atau referensinya. Lacan mendukung kondisi ini dengan pendapatnya bahwa sebuah kata tidak lagi menjadi referensi, melainkan referensi itu sendiri menjadi kata, ketika Angkara yang dalam dunia manusia adalah kata yang mengacu pada nafsu, sebuah kondisi dimana seseorang menjadi tidak terkontrol dan di luar kesadaran positifnya. Kata angkara dalam cerpen ini menjadi tidak terikat pada pakem atau aturan bahwa referensi ini merujuk kepada nafsu yang membuat manusia keluar dari ambang kesadarannya. Ia telah menjadi sekedar kata. Kata yang menandai sebuah karakter. Seolah sebuah nama yang kemudian menjadi referensi tentang kata itu sendiri. Kemudian kata itu akhirnya kehilangan makna. Ketika menjawab pertanyaan di dunia mana ini, sebagai pertanyaan selanjutnya dalam posmodernisme, cerpen ini dengan jelas membuat kita seolah-olah berada dalam dunia kita sendiri, dunia yang kita akrabi sehari-hari. Seperti ketika membaca cerpen dalam dunia manusia, di awal cerpen pembaca digiring untuk mengira bahwa inilah dunianya. Namun, saat menelusuri pembacaan selanjutnya, ternyata kita berada pada dunia yang, seperti kata pengarangnya, dunia antara ‘batas khayal dan kenyataan’. Dunia yang memang tidak tampak secara kasat mata oleh kita. Bagaimana pun, manusia tidak akan mampu melihat ‘amarah’nya sendiri, apalagi berbincang dan berdiskusi dengannya. Secara ontologisme, manusia belum mampu melihat dimensi lain dari nafsu yang diciptakan Tuhan sebagai salah satu kemampuan manusia yang melengkapi dirinya sebagai makhluk-Nya. Hal ini tetap menjadi misteri dalam konteks bahwa manusia berada tetap dalam posisinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Patut dicatat bahwa pertanyaan akan eksistensi manusia menjadi salah satu kekuatan dalam Posmodernisme. Heidegger, salah saorang pemikir terkemuka posmodernisme berpendapat bahwa makna terdiri dari beberapa entitas yang tetap, sejumlah informasi yang terdapat didalamnya yang cenderung kita katakan hanya dapat di sepakati atau ditolak atau ‘diproses’ dengan mengirim informasi tersebut dari satu lokasi ke lokasi lain yang berbeda. Hal ini menghubungkan kita, lanjut Heidegger lagi, pada kenyataan bahwa selalu akan ada alternatif dalam kehidupan. Kita dapat ‘mengulang’ makna baru, setelah meninggalkan makna lama kita akan kembali dengan (sesuatu) yang baru, yang membuka kesempatan untuk adanya perubahan dan pengembangan terhadap makna lama tersebut. Heidegger mengingatkan kita pada gerakan para aktivis lingkungan yang mendaur ulang sesuatu yang terbuang menjadi sampah, agar tidak terbuang percuma dan bermanfaat dalam bentuknya yang baru. Dapat juga diartikan bahwa pengaburan eksistensi manusia menjadi hanya sebagai kabut dan boneka. Pengaburan makna kemanusiaan yang dalam, yang menghilangkan nilai kemanusiaan manusia. Namun, ada dendam yang terus menerus memeluk rindu. Dendam Angkara kepada manusia yang terus menerus dipeluk oleh rindu akan Sunyi. Ada dunia yang terombang-ambing antara dendam untuk membunuh dengan rasa rindu menjadikan Sunyi menjadi ibu anak-anaknya, menjadi pendampingnya yang setia. Ada dunia yang saling bicara, namun tidak paham akan apa yang dibicarakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun