Energi yang baik adalah dari diri sendiri
Pakaian sudah rapi, badan sudah wangi dan wajah sudah bersih. Saya siap berangkat menemui kawan untuk membahas rencana perjalanan ke Baduy. Tapi sial, kakak perempuan saya berteriak memekakkan telinga dari dapur menembus lorong ruang keluarga hingga ke kamar. Ia minta dibelikan gas tabung LPG yang sudah habis. Kalau saya jawab tidak bisa, alamat bakal menerima amukan. Mau tidak mau saya ke dapur mendatangi kakak.
Di dapur, kakak baru saja mencopot tabung gas dari selangnya. "Buruan, ya, keburu tempenya melempem." Ia menyodorkan uang pada saya.
Saya melirik tempe yang tenggelam di genangan minyak yang saya duga mulai mendingin. Saya sudah membayangkan akan berjalan ke warung kelontong gas sambil menenteng gas.
"Buruan. Malah bengong!"
Saya pasrah mengambil gas tabung kosong dan uang dari tangan kakak. Sebagai laki-laki satu-satunya di rumah, saya memang menjadi andalan kakak dalam urusan pergi-pergi untuk memenuhi kebutuhan rumah. Sejak saya sekolah dasar, saya memang hanya tinggal dengan kakak.
Saya menenteng gas kosong dengan masygul menuju toko gas tabung terdekat. Sesampainya di sana, rupanya gas tabung habis. Alhasil saya harus berjalan lebih jauh lagi untuk membeli gas ke toko lain. Tidak pakai sepeda motor? Di rumah tidak ada sepeda motor. Lagipula, saya punya traumatik sejak kecil dengan sepeda motor. Kalaupun ada pasti tidak akan berguna itu barang.
Saya sampai rumah 20 menit kemudian, dengan keringat di leher dan jidat. Urusan memasang gas, saya serahkan kepada kakak saya itu, lantaran ialah yang paling terbiasa memasangnya.
Saya membuka ponsel sentuh saya. 3 panggilan tak terjawab, dan pesan Whatsapp bertubi dari seorang kawan yang sudah menunggu di tempat yang dijanjikan. Saya segera mengetik balasan. Singkat-singkat dan bertubi.
Kalem.
Tadi ada insiden di rumah.