Mohon tunggu...
Nicko Rizqi Azhari
Nicko Rizqi Azhari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Tertarik pada bidang kajian media, kajian film, jurnalistik, politik, dan hubungan internasional. Ingin menjadi produser televisi dan bercita-cita memiliki jaringan televisi suatu saat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kawah Ijen, Mengagumi Indahnya Bibir Perut Bumi

29 Oktober 2011   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:19 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan sekadar karena pesona cantiknya. Kisah Gunung Ijen dengan aktivitas penambangan belerang tradisional yang masih bertahan dan menjadi salah satu yang terbesar di dunia menarik kami untuk menghampiri tepian bibir perut bumi di dasar kawahnya.

Oleh Nicko Rizqi Azhari

Setelah menunggu cukup lama, pukul 13.30, truk pengangkut belerang yang kami tunggu datang juga. Truk inilah yang akan memberi tumpangan bagi kami dari Desa Licin, Banyuwangi, salah satu desa tertinggi di lereng Gunung Ijen, menuju Paltuding. Paltuding adalah lokasi awal pendakian menuju kawah, tempat di mana pos pengumpulan dan penimbangan belerang serta Pos Perhutani berada. Di Paltuding pula, kami bisa beristirahat dan mengisi tenaga untuk pendakian esok dini hari.

Untuk mencapai Paltuding, terdapat dua jalur yang dapat digunakan, yakni melalui Banyuwangi dan Bondowoso. Namun, akses menuju Paltuding dari kedua jalur sama-sama tidak mudah. Tidak ada sarana transportasi umum yang langsung menuju Paltuding. Maka, tinggal pilih, memakai jasa travel atau dengan kendaraan pribadi. Kami lebih memilih menggunakan jalur Banyuwangi agar pilihan kami menuju lokasi bertambah: menumpang truk pengangkut belerang.

Perjalanan menuju Paltuding sungguh mengasikkan. Kami sungguh menikmati perjalanan di kap terbuka di belakang truk. Kondisi jalan yang rusak berat seringkali menyebabkan guncangan keras saat kami berada di atas truk. Sesekali, kami harus menjaga drum berisi air yang berfungsi menjaga keseimbangan truk saat menanjak, agar tidak tergelincir dan menghimpit kami. Namun, itu sama sekali tidak mengurangi kekhusyukan kami menikmati panorama perkebunan kopi lengkap dengan aktivitas penduduk di sekitar perkebunan. Semakin naik, mata semakin dimanjakan dengan pemandangan etalase alam berupa hutan tropis berikut kehidupan liar pendukungnya.

Sampai di Paltuding, mau tak mau, kami harus bermalam untuk menikmati keindahan Kawah Ijen esok paginya. Di Paltuding, Perhutani menawarkan penginapan sederhana dengan tarif 100 ribu rupiah per malam. Bila pengunjung datang dengan anggaran terbatas, pengunjung dapat mendirikan tenda di sekitar Pos Perhutani yang cukup lapang. Dengan catatan, tahan dengan sergapan udara dingin yang kadang bisa sampai mendekati titik beku.

Pendakian

Dini hari adalah waktu terbaik untuk mencapai puncak dan–kalau berani, meskipun sangat tidak disarankan–menuruni dinding kawah yang curam untuk menuju danau kawah dan lokasi penambangan belerang. Bila kekuatan dan arah angin berpihak pada pengunjung, pengunjung dapat menikmati keindahan kawah di pagi hari tanpa gangguan asap belerang. Dan, bila pengunjung datang jauh sebelum fajar, pengunjung dapat menikmati keindahan nyala api biru di dinding kawah.

Beruntung, kami mendapat beberapa teman baru di sana, teman-teman penambang. Pendakian malam kami menuju puncak pun terasa berwarna karena ditemani beberapa penambang yang memiliki destinasi sama dengan kami, bibir danau kawah. Tiga kilometer jalan menanjak, jarak yang harus kami tempuh untuk mencapai puncak. Rasa kantuk ditambah rasa lelah dan nafas-nafas pendek memang tidak dapat dihindari. Namun, cerita-cerita para penambang mengenai Kawah Ijen dan kehidupan mereka membuat waktu pendakian tidak terasa. Apalagi, hampir setiap berjalan 100 meter, kami selalu berpapasan dengan para penambang belerang yang turun dengan memangggul belerang seberat puluhan kilogram. Senyum dan sapa hangat selalu kami lontarkan untuk memberi semangat kepada mereka.

Dalam sehari, para penambang bisa bolak-balik menambang belerang sebanyak dua hingga tiga kali. Sekali tambang, mereka bisa memanggul belerang hingga mencapai 80 kilogram. Setiap kilogram belerang yang mampu mereka angkut hingga ke pos pengumpulan belerang di Paltuding, mereka hanya akan mendapat upah 650 rupiah. Belum lagi, mereka harus menanggung risiko terhadap kesehatan mereka karena hampir setiap hari menghirup gas asam sulfat dalam jumlah yang cukup tinggi. Kegigihan, semangat, kerja keras, dan perjuangan hidup mereka inilah yang senantiasa membuat kami bersyukur dan terus memacu motivasi kami dalam menjalani kehidupan, bukan semata selama pendakian ini.

Mendekati bibir kawah, jalan menjadi landai dengan pepohonan dan perdu kering di sana-sini, di antaranya telah menjadi arang. Ini menjadi petunjuk akan bahaya Ijen di masa lalu serta ancamannya di masa depan. Kawah Ijen merupakan kawah dari Gunung Api Ijen yang masih aktif. Akibat letusan eksplosif di masa lalu, stratovulkano ini kehilangan sebagian badannya sehingga menjadi gunung api maar dengan kaldera menganga lebar. Kini sebagian dasar kalderanya digenangi air sehingga menjadi danau dengan tingkat keasaman tinggi. Di tepi danau asam inilah, lelehan panas cairan belerang ditambang.

Perjalanan menjelang dinding kawah, bau belerang yang tadinya samar, lama-kelamaan semakin menyengat hidung. Namun, atraksi alam yang menawan berupa danau kawah berwarna hijau tosca berdiameter sekitar satu kilometer di dasar cekungan kawah yang dikepung dinding kawah yang menjulang tinggi membelalak mata kami. Kecantikan danau Kawah Ijen pun memancing rasa penasaran kami untuk menyentuh bibirnya. Jadilah kami nekat menuruni dinding kawah yang berupa tebing curam untuk mencapai bibir kawah.

Tak sampai setengah jam, kami mencapai bibir danau kawah. Di tepi danau kawah, asap terus mengepul, cairan belerang panas pun terus meleleh keluar dari dalam perut bumi. Di situ pula para penambang antri ”memunguti” belerang yang telah memadat untuk dibawa ke pos pengepul belerang. Kami bisa menyaksikan detil proses penambangan belerang dari jarak dekat. Tak kalah menarik, kami bisa kembali berinteraksi dan banyak belajar tentang kehidupan dengan para penambang belerang di lokasi penambangan, meskipun pekatnya asap belerang cukup menyesakkan nafas dan memedihkan mata.

Meski tampak jinak, pengunjung harus waspada bila turun hingga mencapai kawah. Bibir danau kawah itulah bibir perut bumi di Gunung Ijen. Jauh di bawah dasar danau itu, Ijen sedang mengumpulkan tenaga. Sewaktu-waktu Ijen dapat menghembuskan gas beracun dalam jumlah besar dari dalam perutnya. Sewaktu-waktu pula, ia bisa mengeluarkan material-material panas dari dalam dapurnya. Dan, tidak seorang pun yang bisa menerka kapan pesona itu akan berubah menjadi bencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun