Mohon tunggu...
Azhar Ilyas
Azhar Ilyas Mohon Tunggu... -

Menulis membuat Anda seperti hidup kembali...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saat Tak Tersisa Harapan, Tak Tersisa Ketakutan

15 Agustus 2012   11:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:44 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu 26 Desember 2004.

Seperti biasanya Ahad pagi, maka tak ada suasana anak-anak pergi ke sekolah. Para orang tua melakukan kegiatan sebagaimana biasanya. Ada yang menghabiskannya di rumah bersama keluarga. Ada pula yang bertamasya ke Pantai Ulee Lheue, yang hanya berjarak sekitar 4 km dari pusat kota Banda Aceh. Di lapangan Blang Padang, dekat pusat kota, sedang diadakan suatu even lomba lari massal.

Pukul 08.07, bumi bergetar hebat. Orang-orang lari berhamburan keluar rumah untuk menghindari adanya bangunan yang rubuh. Khawatir dan cemas. Kami terayun-ayun dalam gempa mahadahsyat itu. Jangankan berlari, berdiri saja tak kuat.Bahkanuntuk berlari keluar rumah saja langkah ini sempat terpaku begitu lama. Suara gemuruh besar diiringi dentuman-dentuman dari suara bangunan yang rubuh dan berderik-derik membuat siapapun menjadi gemetar.

Sempat bertanya dalam hati, jika benar ini kiamat mengapakah tak terlihat matahari terbit di barat. Lalu pandangan sebentar-sebentar ke langit mengharap gempa segera berhenti sambil melihat-lihat apakah langit telah terbelah?

Kira-kira sepuluh menit lamanya, kemudian gempa pun berhenti. Kami terhenyak sesaat. Belum reda rasa takut, sebuah gempa besar lagi mengguncang selama beberapa detik saja, lima belas menit kemudian. Lalu sebentar kemudian aku terheran-heran, karena tiba-tiba saja telah ada keributan dari jalan raya.

“Ada apa, Kak?”, aku bertanya kepada seorang tetangga sebelah rumahku yang sedang menggendong keponakannya.

“Tidak tahu, mereka bilang ada air naik.”

“Air apa?”, aku tak lagi menunggu jawabannya karena tetanggaku itu juga tampak amat kebingungan. Aku berlari untuk melihat ke jalan raya yang jaraknya hanya 100 meter saja dari rumahku.

Dari kejauhan terlihatlah puluhan bahkan mungkin ratusan orang berlari-lari seperti dikejar setan. Amat gaduh suasananya. Entah apa yang mereka teriakkan. Ada seorang lelaki bertopi membawa sebuah kardus, lalu terjatuh, lalu diambilnya lagi sambil terus berlari. Dari balik jembatan di belakang mereka rupanya telah ada kejaran ombak tsunami yang siap menyeret mereka.

Mendengar kata air laut aku segera berlari ke rumah. Mengajak Mamak dan Bapak berlari. Saudara-saudaraku sedang ke pusat kota untuk melihat-lihat kondisi pasca gempa, jadi hanya ada aku, Bapak dan Mamak. Kami naik ke rumah tetangga sebelah karena mereka memiliki lantai dua yang cukup tinggi dan membantu menaikkan barang-barang mereka di lantai satu tanpa memikirkan lagi rumah kami yang perlahan-lahan direndam oleh air tsunami tersebut.

Perlahan-lahan air pun mulai masuk ke rumah itu. Di lantai dua itu kami tak sedetik pun dapat tenang. Mamak mengambil wudhu’ lalu shalat sunat. Bapak yang agak telat sampai karena melihat-lihat dulu keadaan di sekitar rumah. Air di sekitar rumah kami memang hanya air yang sudah tak terlalu deras lagi. Tak ada tiba mayat, tak ada tiba sampah-sampah reruntuhan rumah dan bangunan seperti halnya wilayah-wilayah lain yang berjarak hanya beberapa kilometer saja dari tempat tinggal kami. Barangkali karena gelombang besar itu telah sempat menghantam rumah-rumah dan gedung-gedung bertingkat lainnya sebelum air sampai ke tempat kami. Namun tinggi air yang sempat mencapai sekitar 2 meter itu membuat kami tak mampu bergerak kemana-mana.

Di atas rumah tetangga berlantai dua yang baru saja direnovasi tersebut berulang kali kalimat-kalimat thayyibah terucap. Aku, Mamak dan Bapak sudah saling mengucap maaf. Di lantai dua tersebut, berulang kali goncangan gempa susulan terjadi. Kami hanya bisa pasrah dan terus menerus menyebut nama Ilahi. Berdo’a agar masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang kami kasihi.

Dua jam kemudian berlalu. Kami perlahan-lahan mulai dapat mendengar kabar yang pasti. Malam harinya rasanya tak ada yang dapat memejamkan mata. Karena masih khawatir dan gempa susulan pun terus terjadi. Semua sepertinya saling bercerita.

Malam itu, aku teringat kembali mimpi yang kualami beberapa minggu sebelumnya. Dalam mimpi itu aku mengikuti lomba lari, menyusuri rute yang terasa begitu lama. Sampai akhirnya aku jadi pemenang. Lalu kalungan medali itu oleh seorang Bapak. Dan saat aku menatap ke belakang, kosong. Yang aku ingat dalam mimpi itu, sama seperti hari tsunami tersebut, bahwa hari itu matahari bersinar cerah. Aku bersama adikku hanya bisa menduga-duga, barangkali maksud dari mimpi itu adalah aku diselamatkan oleh Allah Swt. dalam bencana itu. Tak terbayangkan jika hari itu aku jadi ke kampus mengikuti kuliah tambahan. Namun bila mengingat kuasa Allah Swt.hanya rasa syukur dan sabar saja yang dapat kita perbuat.

Sungguh, saat itu kami tengah diuji dengan ujian yang teramat dahsyat. Tidak sedikit mereka yang kini sebatang kara, menduda atau menjanda setelah hampir seluruh anggota keluarganya menjadi korban dalam musibah tersebut. Rumah-rumah dan mata pencaharian mereka pun luluh lantak oleh tsunami.

Atas Rahmat Allah Swt., Aceh Kini Tersenyum Lagi

Berbagai bantuan telah disalurkan dari berbagai wilayah baik dari saudara-saudara kami di nusantara maupun dari masyarakat internasional. Hal ini menggambarkan betapa tingginya solidaritas kemanusiaan yang dihadirkan melalui sebuah peristiwa bencana alam maha dahsyat, gempa bumi 9,0 SR – gempa terkuat dalam 40 tahun terakhir – mendera di dasar Samudera Hindia posisi barat laut Sumatera. Hentakannya membalapkan tsunami paling besar dalam sejarah, menghantam penduduk sepanjang tepian Samudera Hindia, dari Asia, pantai Afrika Selatan bahkan gelombangnya menderap menyapu Pantai Amerika.

Tragedi Ahad, 26 Desember 2004 itu memang pantas membuat kita shock, histeris, depresi, bahkan sebagian besar korban hidup terganggu kejiwaannya. Kengerian pada jam-jam pertama pasca gempa dilaporkan secara langsung oleh reporter Metro TV Najwa Shihab dengan emosional, dengan isak tangis, dengan kata-kata terbata-bata. Jiwanya tampak terguncang hebat di tengah banjir sampah dan gunungan mayat yang campur aduk berserak-serak. Penonton pun tak kuasa menahan tangis.

Dan dari kengerian itulah, kita memanen hikmah. Sehingga kapal tanker yang terlempar jauh ke darat, mobil yang terbelit kabel listrik, mayat-mayat yang terkapar, terapung, tersangkut… bukan lagi panorama yang meremas hati. Pemandangan itu adalah sinyal-sinyal Ilahi agar hidup memaknainya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.

Seperti masjid-masjid yang tetap kokoh di tengah kehancuran. Dan sebaliknya pasar yang porak poranda seisinya; apakah ini isyarat agar masjid kelak seramai, bahkan lebih ramai ketimbang pasar. Dan jalan-jalan yang terbelah itu, apakah mempertanyakan jalan hidup kita selama ini; luruskah kita membuat jalan berkelok itu. Sungguh, pada mayat yang bergelimpangan, maut berkata tak mengenal waktu, tak mengenal tempat, tak mengenal siapa kita.

Atas rahmat Allah Swt., pada tanggal 15 Agustus 2006, hampir dua tahun setelah peristiwa Tsunami, ditandatangani perjanjian kesepahaman (Memorandum of Understanding) perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hasil ini menjadi anugerah terbesar bagi rakyat Aceh, sehingga rakyat Aceh mulai dapat menatap kembali masa depannya, dari suatu wilayah yang terisolasi dan tercabik-cabik dalam konflik berkepanjangan, menjadi wilayah yang berisikan di dalamnyakesejahteraan dan perdamaian abadi.

Tsunami mengajarkan kami, bahwa bahkan dalam puncak suatu badai, saat tak tersisa harapan, tak tersisa lagi ketakutan. Dalam malam yang kelam pun, saat terkelam adalah saat di mana fajar akan segera menyingsing. Di balik kesulitan, ada kemudahan.

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan, ada kemudahan. Sesungguhnya, beserta kesulitan ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah (94): 5-6)

Kota Banda Aceh kemudian berbenah dan merias kembali dirinya dengan wajah yang lebih cantik dan menarik berlandaskan syari’at Islam. Puncaknya adalah kegiatan Visit Banda Aceh Year 2011 yang lalu. Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk menunjukkan kepada dunia rasa terima kasih mendalam dari kami rakyat Aceh, atas segala bantuan dan perhatian yang telah diberikan kepada kami dalam merangkai kembali mimpi-mimpi yang sempat tergoyahkan oleh nestapa.

Kini, kami mulai menata lagi satu per satu batu bata impian dan harapan itu. Agar kami sebagai generasi muda kelak dapat mewarisi pelajaran dan pengalaman berharga tersebut dalam membangun mimpi Aceh, serambi Mekkah yang cantik dan menarik berlandaskan syari’at Islam. Semoga.

“Aku tertidur dan bermimpi bahwa hidup ini adalah kesenangan.

Aku terbangun dan melihat bahwa hidup ini adalah sebuah pengabdian.

Aku bertindak, dan lihatlah, pengabdian memang menyenangkan.”

(RABINDRANATH TAGORE)

Referensi Pendukung:

1. Sunaryo A. Nurbowo, (Ed.), Mengukir Asa di Serambi Mekkah, Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2006.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun