Beberapa waktu belakangan ini iklim politik di tanah air semakin tidak menentu. Semenjak penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri disetujui secara aklamasi oleh rapat paripurna DRD dan diikuti dengan penetapan sebagai tersangka korupsi oleh KPK kepada yangdirinya. Kemudian dalam tenggat yang tidak lama, wakil ketua KPK Bambang Widjayanto ditangkap oleh Bareskrim dengan pasal melakukan sumpah palsu dalam persidangan di MK. Bola panas dalam jagad politik negeri ini semakin menjadi. Sejumlah pihak semakin liar mengumbar syahwat politiknya untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Suasana politik semakin tidak menenteramkan. Dan semakin jauh dari kemaslahatan rakyat Indonesia. Siapa yang benar dan siapa yang salah semakin kabur tertelan badai politik.
Semenjak saat itu pula saya berusaha menahan diri untuk tidak berbicara dan membahas tema politik di media apapun. Sikap ini saya ambil paling tidak sebagai ikhtiar untuk mengurangi kegaduhan politik di akar rumput. Dalam kondisi sengkarut ini hati kecil saya berkata, saat ini Inonesia butuh bapak bangsa. Yaitu seorang negarawan yang mampu menenteramkan keadaan. Seorang yang mampu menyemai kedamaian. Seorang yang mampu menyelamatkan Indonesia. Hati kecil saya kembali bertanya, siapa bapak bangsa kita? Dimana dia berada?
Namun hari ini saya tergoda untuk kembali menulis tema politik. Setelah membaca berita terbaru perkembangan politik di tanah air. Perkembangan itu tidak lain aalah pertemuan presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto dan BJ Habibie. Menurut hemat saya, pertemuan tersebut merupakan langkah sederhana dan biasa saja. Namun di tengah kondisi yang sedang gaduh seperti ini, pertemuan itu membawa makna yang luar biasa.
Inilah langkah yang kita tunggu dari seorang presiden Jokowi. Inilah jiwa kenegarawanan yang kita harapkan dari para petinggi bangsa. Meskipun berbeda posisi, berbeda peran, namun mereka mau duduk dan bicara untuk membicarakan tujuan bersama, yakni SAVE! INDONESIA.
Bisa jadi seorang Prabowo Subianto adalah seorang bapak bangsa yang saya harapkan di depan. Bisa pula seorang BJ Habibie atau Presiden Jokowi sendiri. Atau bisa jadi mereka semua ini bapak bangsa yang sesungguhnya. Seorang negarawan yang mengesampingkan kepentingan individu dan kelompoknya untuk memikirkan kemaslahatan bersama.
Semoga pertemuan yang telah mereka lakukan bertiga, menjadi tonggak sejarah baru dalam perpolitikan Indonesia. Yakni berpolitik yang damai dan menenteramkan. Ya..mereka, Presiden Jokowi, Prabowo Subianto maupun BJ Habibie, pada kesempatan ini layak saya sebut sebagai bapak bangsa, seorang negarawan yang dibuthkan Indonesia.
Analisis saya tentang kemungkinan adanya bayang-bayang kepentingan yang mengangkangi presiden Jokowi, sebagaimana yang saya tulis dalam buku: Presiden Jokwi, harapan baru Indonesia yang diterbitkan Elex Media Komputindo (proyek penerbitan buku kompasiana), berangsur-angsur terpatahkan dengan agenda pertemuan tiga tokoh bangsa tersebut. Dengan pertemuan tersebut, presiden Jokowi seolah mengatakan bahwa : saya bukan presiden boneka.
Itulah yang saya nanti sebenarnya, ketegasan seorang presiden yang dengan prerogatifnya mampu menentukan sikap sendiri. Langkah pertemuan dengan Prabowo sendiri menurut hemat saya merupakan gebrakan baru yang patut dipuji. Sebuah komunikasi politik yang cerdas dan konstruktif. Sebuah terobosan yang belum pernah dilakukan para pemimpin bangsa Indonesia sebelumnya. Presiden Jokowi tidak perlu gengsi untuk berkomunikasi dengan mantan rivalnya, dan sebaliknya Prabowo tidak perlu jual mahal. Karena kepentingan bangsa jauh lebih penting untuk diselesaikan dari pada larut dalam euforia rivalitas tersebut.
Komunikasi politik semacam ini sangat bagus sekali jika menjadi tradisi dalam berdemokrasi. Semua diuntungkan karena semua merasa mendapatkan peran dan dibutuhkan. Persoalan menang dan kalah dalam pilpres anggap saja sebagai peruntungan nasib yang belum baik. Sikap yang nguwongke (menghargai, Jawa-pen.) oleh presiden Jokowi dan sikap legowo (ikhlas dan tidak dendam)oleh Prabowo Subianto inilah yang perlu ditiru dan dikembangkan oleh para pemimpin bangsa yang lain. Dalam kondisi yang gaduh seperti ini, bukan justru saling mengumbar ego politik dengan statemen dan manuver yang bernada menyerang. Sudah pasti kondisi semakin tidak karuan.
Dalam menyikapi situasi seperti ini Islam mengajarkan konsep tabayyunsebelum membuat statemen baru. Yaitu melakukan pendekatan dialogis dengan mendahulukan konfirmasi atau meminta penjelasan terlebih dahulu. Dalam konteks kehidupan bernegara, langkah inilah yang seharusnya dibangun dalam dialektika politik.
Ya, semoga saja apa yang telah dilakukan para pemimpin bangsa tersebut mampu mengendalikan dinamika politik yang semakin memanas. Karena korban terbesar dari keadaan tersebut adalah rakyat Indonesia. Karena para pemimpin negara energinya habis untuk mengurusi perang kepentingan di tingkat elite. Sehingga kemaslahatan rakyat tidak terurus dengan serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H